Prolog

797 12 2
                                    

Gadis itu menatap senja penuh keyakinan, tapi dia tidak pernah yakin akan sosok itu. Sosok yang telah menghancurkan seluruh kebahagiaan dan harapannya. Tak seharusnya dia secepat itu mengambil rasa. Gadis itu tersadar dia telah melamun hal yang tak berguna. Dia pun bergegas pulang menuju rumahnya disertai perasaan tak menentu. Benci, kesal, dan sedih.Besoknya, sorotan hangat matahari tirai gorden rumahnya menyibak, membuat gadis itu terbangun dari tidurnya dan berangkat menuju sekola dengan langkah malas. Malas jika nanti tak sengaja bertemu dengan sosok itu.

Cowok itu berjalan di koridor sekolah, dengan langkah tergesa-gesa, fikiran tak menentu. Kesalahan tetap kesalahan. Dia tidak bisa memutarbalikkan waktu. Cewek itu sudah terlanjur benci kepadanya. Bagaimana tidak? Dia telah melakukan hal yang bodoh dan membuat gadis itu sukses malu dengan indahnya. Langkahnya kini berhenti tepat di pintu kelas X-3, kelas gadis itu. Kelas yang awalnya ricuh, langsung senyap dengan kehadiran cowok itu di daun pintu. Semua seakan terhipnotis padahal hanyalah orang biasa. Cowok itu menyuruh seseorang untuk memanggil gadis yang tengah dicarinya itu, dengan sigap seseorang itu memanggil nama gadis yang tengah dicarinya. Setelah gadis yang dicarinya menghampiri, tangan gadis itu langsung ditarik oleh cowok itu, paksa. Gadis itu mendengus pasrah, mengikuti tarikan itu. Cowok itu mengajaknya ke rooftop.

Semilir angin kecil meniup rambut dua remaja yang tengah bertengger manis di rooftop sekolahnya. Masing-masing dari mereka tak mau angkat bicara. Seperti orang asing. Terutama cowok itu, dia yang mengajak gadis itu ke rooftop malahan tak mau memulai pembicaraan, dia menatap sekilas gadis di sampingnya itu, menghembus nafas perlahan. Dua detik lengang, cowok itu akhirnya angkat bicara.

"Sal, saya mau minta maaf," ujar cowok itu, penuh penyesalan.

"Udah saya maafin," gadis itu, tersenyum tipis.

"Kamu masih benci dengan saya?"

"Seperti yang sudah saya bilang, saya tidak pandai dalam berbicara. Saya terlalu kikuk."

Cowok itu menepuk kening gadis itu pelan dan seraya menatap dengan tatapan teduh, hangat, begitu hangat hingga membuat gelembung-gelembung yang sudah menumpuk di sudut mata gadis itu terpecah. Dia merindukan tatapan itu. Gadis itu menangis di dada bidang cowok itu.

"Sal, saya tau saya salah. Saya pengen kita kayak dulu lagi. Saya ingin menarik tanganmu menuju masa depan itu."

"Udah terlambat, Dev," balas gadis itu singkat tapi menohok.

Gadis itu beranjak, mengusap gelembung-gelembung yang menyisakan luka, dia pergi meninggalkan cowok yang sedang merutuki kesalahan cowok itu sendiri. Sebelum langkah gadis itu menuju langkah tingkat satu,
"Sal, kamu yakin? Saya ingin kamu percaya lagi. Kamulah prioritasku."

Tidak ada jawaban. Tidak ada senyuman lagi yang mengembang manis. Semuanya telah berlalu. Gadis itu sudah terlalu benci. Tapi, sebenarnya dia berbohong. Dia tidak pernah bisa membenci sosok itu. Perasaannya belum berubah, masih sama, tapi waktu telah merubah semuanya menjadi lebih kontroversial. Semua yang terjadi tetap yang terjadi, apapun itu dan bagaimana pun itu. Gadis itu tak menghiraukan panggilan itu dan terus meneruskan langkahnya yang tadi sempat terhenti oleh panggilan cowok itu.

°°°
to be continue
Jangan lupa vote and comment :)

Senin, 09 Mei 2016

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang