12

167 2 0
                                    

Jam istirahat tiba, dengan seperti biasanya, Vani menarik narik paksa tangan Salsa diikuti Livia di belakang. Bahkan saat ini dia menyeret nya. Kejadian ini disebabkan dengan pertengkaran kecil Vani dan Rival. Sudah tidak diragukan lagi mereka melakukan hal tersebut.

Saat pelajaran matematika, Pak Dadang sedang sibuk menulis soal latihan bab logaritma. Bab paling dibenci seisi kelas. Vani dan Rival saling adu mulut tak bersuara dan lebih parahnya mereka saling kirim surat. Kesan pertamanya terlihat seperti orang jadian.

Lo nggak usah kepedean, Vani sibuk menulis di secarik kertas, kemudian diremas remas kertas itu dan melemparnya ke bangku Rival. Untung lemparannya tepat mengenai sasaran. Dua menit berlalu, Rival membalas surat itu dan ganti melemparnya.

Srett..

Salsa menoleh sebentar, diliriknya cewek yang duduk bersebelahan dengannya. Vani sibuk menulis di secarik kertas bukannya mencatat soal di papan tulis. Tangannya menyambar tanpa izin dari pemiliknya. Dilihat lekat lekat percakapan dari atas sampai bawah. Matanya bergerak ke kanan ke kiri mengikuti tulisan itu. Begitu banyak mereka saling berbalas balasan surat. Akhirnya, dia membaca deretan tulisan paling terakhir.

Rival : Lo juga nggak usah kecantikan. Cih.

Vani : Gue emang cantik dari dulu kali. Eh tunggu. Oiya, nama lo Rival. Setau gue artinya itu musuh. Wah, pantes aja lo slalu punya banyak musuh.

Rival : Musuh gue cuma lo. Nama gue? Ternyata lo perhatian sama gue.

Vani : Perhatian? Maksudnya?!!

Rival : Lo tau arti dari nama gue. Berarti selama ini lo jadi stalker gue. Wah, kalo gini gue bisa populer. Ternyata rival gue diam diam jadi stalker.

Vani : Gila lo jy

Tulisan Vani harus terpaksa tercoret karena tangan Salsa yang menyambar tadi. Salsa menyodorkan kembali surat yang sudah lecek karena remasan remasan mereka. Dibisiknya pelan, "Ati-ati kalo saling rivalan nanti bisa jadi saling suka. Inget nanti saling jatuh cinta."

"GILA LO-"

Vani tak sengaja berteriak. Reflek kedua tangannya menutup mulut. Yang bisa Vani lakukan hanyalah meminta maaf lewat tatapan mata karena mengundang perhatian seisi kelas.Sudah pasti pak Datang juga ikut mendengarnya. Matanya melotot tajam.

Untung nggak sampai keluar, kalo keluar bisa barabe. Mendingan balikin aja pak kayak biasanya nanti copot lagi, batin Salsa tertawa.

"Kalian keluar dari pelajaran saya sekarang."

Langkahnya menuju bangku Vani dan Salsa. Tangannya menyambar segumpal kertas itu. Apalah daya Salsa hanya bisa meneguk ludahnya, menikmati kematian akan datang padanya dengan waktu yang tak seharusnya.

"Tapi, jangan kita doang. Nih, sama Rival pak. Dia juga bersangkutan."

Matanya kini beralih ke bangku Rival yang sedang tertawa puas tak bersuara. Seketika Rival tak berkutik, tubuhnya menegang, setrum akan menyengat tubuhnya.

"Kamu ikut keluar juga, Rival," suara Pak Datang bertambah keras, naik lima oktaf dalam satu kedipan mata, menggelegar di seluruh penjuru kelas X-3.

Disinilah mereka sekarang, seperti gelandangan yang tak tahu arah. Kantin. Mereka bertiga duduk di meja nomor tujuh.

Bagi Salsa, ini hal terburuknya selama sekolah di sini. Seorang junior yang batu setengah bulan bersekolah di SMA Cakrawala, sudah mempermalukan diri. Terkena hukuman. Meskipun, hukuman seperti itu sangat disukai banyak siswa. Tapi tidak bagi gadis rajin dan pintar seperti Salsa. Hukuman adalah hal terhoror baginya. Mau tak mau dia harus menerima kenyataan ini.

Raut wajah Vani ditekuk. Sebal. Baginya, semua ini karena Rival. Yah, masalah ini menurut Salsa tetap kesalahan yang tak perlu disalahkan. Semua udah terjadi mau gimana lagi.

"Kok disini?" tanya Deva tiba tiba.

"Trus ngapain lo juga kesini?" tanya Rival.

Sok kenal, batin Vani.

"Jam pelajaran kelas gue kosong."

"Sal, ke roof top yuk," ajak Deva.

Tanpa menunggu jawaban dari Salsa, Deva menarik tangannya menjauh dari kantin meninggalkan Rival dan Vani.

Vani sempat memohon Salsa untuk tetap di sini tapi tarikan Deva lebih kuat.

"Ngapain sih?" tanya Salsa begitu sampai di tempat kesukaannya itu.

"Duduk," perintah Deva.

"Mau ngapain? Kasian Vani tadi ditinggal gitu aja," bantah Salsa. Kedua tangannya melipat di dada seraya berdecak kesal. Kebiasaan Deva. Selalu mengganggu Salsa dalam keadaan apapun.

"Lo tetep nggak mau duduk apa mau gue cium?"

"Shit," umpat Salsa.

Salsa pun menuruti keinginan Deva dengan terpaksa. Garis bawahi terpaksa. Mereka duduk berdampingan.

"Emm.. lo kayaknya ada masalah."

"Sotoy lo."

"Gue slalu memperhatikan setiap tingkah lo. Waktu lo senyum itu bukan senyum bahagia tapi senyum kesedihan. Are you okay?"

"I'm okay, Dev. Lo nggak usah khawatir."

"Lo kenal istilah Klandestin?"

Tercetak jelas segaris kerutan di kening gadis itu. Dia kebingungan. Sepertinya, tak tahu istilah itu.

"Lo itu menurut gue kayak cewek dengan sifat Klandestin. Klandestin itu merupakan lema bahasa yang tergolong kata kerja artinya secara diam diam, secara rahasia. Jadi, wajar aja lo itu suka menyimpan rahasia kehidupan lo sendiri tanpa ingin diketahui orang lain. Itu memang bagus tapi nggak selamanya lo nyimpen sendirian. Itu sama aja seolah, lo hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia hidup itu diciptakan untuk saling tolong menolong."

"Coba deh lo sekali kali cerita ke gue atau sahabat lo. Pasti selesai deh masalahnya. Gue cuma nggak mau lo nanggung masalah kehidupan lo sendirian. Nyakitin diri lo sendiri namanya," lanjutnya.

Kalimat itu menohok hati Salsa. Memang benar dia tak pernah memberitahu masalahnya pada orang manapun terutama sahabatnya sendiri. Keluarganya pun hanya sebagian yang tahu masalah kehidupannya. Gadis itu tercengang.

"Sal, mau sampe kapan lo berdiri sambil bengong terus?" teriak Vani.

"Hmm."

°°°
Sabtu, 28 Mei 2016

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang