10 (Salsa POV)

149 4 0
                                    

Segenap keluargaku sudah menungguku untuk melakukan aktivitas makan malam. Malam ini  kami makan di sebuah restoran langganan mama. Aku memakai kaos hitam terbalut kemeja kotak kotak dengan celana jeans. Setelah membalut wajahku dengan make up yang cukup natural--ini pun disuruh mamaku--kuturuni tangga satu demi satu.

Kulihat mereka sudah bersiap siap di sofa kecuali Leon. Mama dan Daisy begitu cantik malam ini. Aku bahagia memiliki keluarga yang sangat menyayangiku. Setiap pekan kami selalu menyempatkan makan di luar sekaligus berkumpul bersama. Kami memang jarang berkumpul bersama karena kesibukan pekerjaan mama dan papa, serta sekarang Leon sudah menginjak kakinya menjadi salah satu mahasiswa di Universitas Indonesia. Yah, aku paham sekali dengan keadaan. Mama dan Papa bekerja keras demi menghidupi kebutuhan pribadiku maupun kebutuhan sekolah. Leon yang sekarang super duper sibuk dengan skripsi nya mengurangi kebersamaan kami. Keluarga kecil ini sudah cukup membuatku tersenyum bahagia. Papa juga terlihat seperti sosok paling gagah dalam hidupku.

"Sal, panggil gih Leon. Suruh cepetan turun," suruh mama. Aku pun mengangguk paham.

Kugedor gedor keras pintu kamar Leon begitu sampai di depan kamarnya.

"Woi bang, cepetan dikit elah. Dandannya lama banget," gerutuku.

"Iya, bentar dodol. Nggak sabaran amat," sahutnya dari dalam setengah berteriak.

"Gue kayak ngomong sama pintu nih. Buruan buka."

Tak ada jawaban. Aku memilih bergeming menunggu di ambang pintu seraya mengecek ponsel genggamku. Melihat notif notif akun sosmed.

Leon tersenyum yang tak bisa kuartikan begitu membuka knop pintu kamarnya.

"Ngapain lo senyam senyum?" ketusku.

Leon memajukan kepalanya. Menatap lurus tepat pada kedua manik mataku. Kudorong bahunya kasar agar menjauh dari wajahku. Aku risih.

"Gue ganteng nggak?"

"Najis lo."

Kurasakan ada aura negatif yang mengelilingiku, dua detik kemudian bisa ku prediksi petir akan menyambar. Bukan di cakrawala melainkan di rumah ini.

Dua detik...

Satu detik...

"Ganteng gue apa Deva?"

Jduar!!!

Aku tersentak kaget. Mengapa abangku ini bisa mengetahui Deva? Apa mereka saling kenal? Kurasa tidak tapi kok bisa sih. Aku mematung tak menjawab.

"Haha, pasti gantengan Deva, kan?"

"Ke.. kenapa lo--"

"Emangnya gue nggak tau siapa yang hampir tiap hari nganter lo pulang? Gue waktu itu juga tahu lo sama Deva duduk di balkon berdua."

Memang sejak kejadian aku dan Deva resmi bersahabat, cowok itu hampir tiap hari mengantarku pulang. Inget, hampir tiap hari bukan setiap hari.

"Sumpah demi segenap penghuni kuburan. ADEK GUE AKHIRNYA SUKA SAMA COWOK!!!" heboh Leon.

Dia berlari menuruni tangga. Aku yang masih berada di ambang pintu mengucapkan sumpah serapah, semoga dia jatuh. Sialnya, dia lolos dari doaku itu.

"Sialan lo. Gue nggak suka kali," teriakku. Teriakanku menggelegar di sudut ruangan rumah ini.

Aku berjalan cepat menuruni tangga menuju sofa. Di sana mereka bukan membantuku dari kejahilan Leon, malah menertawakanku seenak jidat. Bahkan, Leon sekarang memegangi perutnya, dia tertawa terpingkal pingkal melihat kemarahanku. Walau sebenarnya, aku tak begitu marah. Tapi, aku memang tak suka dituduh tanpa alasan yang jelas.

"Em.. kalo gue pikir pikir lo cocok kok sama Deva. Tapi.." Leon menggantungkan kalimatnya membuatku menaikkan alis.

Sejenak keluargaku diam memperhatikan tingkah kami. Bukan. Kulirik Daisy menggeleng geleng pelan dengan earphone menyumpal kedua telinganya, dia pasti sedang menikmati lagu dari ponsel genggam alias handphone nya itu. Mama sedang fokus mengobrol pelan dengan papa. Rupanya, mereka sudah tak peduli dengan kelakuan kami. Syukurlah, aku siap mengibarkan bendera peperangan.

"Tapi, mau lo kemanain tu si Alvi?" Leon menaik turunkan alisnya. Sial, dia menggodaku.

Mukaku memerah padam. Bukan aku sedang salah tingkah melainkan aku marah. Pitamku terus naik menuju ubun ubun. Bagaimana tidak? Dia terus terusan mengungkit masa laluku. Itu sama saja dia mengingatkan lagi. Padahal saat ini aku berusaha menghilangkan semua tentang Alvi. Aku tipikal orang yang cuek dan tak mudah marah. Tapi tidak jika sudah membahas masa laluku dan segala kebencianku.

"Nggak usah bahas Alvi," bentakku. Jari telunjuk ku mengarah tepat depan mukanya.

"Ma, Pa. Berangkat sekarang."

Bisa kudengar volume suara ku meninggi. Sungguh, aku tak bermaksud meninggikan suaraku. Aku begitu sopan terhadap kedua orang tuaku. Aih, kesannya lebay. Tapi tidak untuk kali ini. Dasar kakak kurang ajar.

"Sorry, Sal," ucapnya dengan nada memelas. Ya, itu suara bariton Leon. Bisa kudengar suaranya memelan. Aku tak menjawab. Terus berjalan menuju gerbang.

°°°
Kayaknya, bakalan update partnya dikit dikit. Satu part mungkin nggak sampe 1K words. Yah, aku lagi pengen aja. Coba coba dikit. Hehe.

Rabu, 25 Mei 2016

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang