14. Kesempatan

3.6K 204 4
                                    

Enjoy Reading..

Dimaz terus-terusan memelukku sampai kami berada di tempat tidur. Kadang bingung juga sih, apa yang ngidam itu Dimaz ya? Tapi, masa iya cowok bisa ngidam juga. Nanti aku bakal coba tanya ke Bunda. Eh Bunda udah tau belum ya kalau aku hamil? Julian juga. Pokoknya semua orang harus tau kalau sebentar lagi aku akan jadi seorang ibu.

"Sayang, kamu udah tidur?" posisi Dimaz yang wajahnya ada di atas kepalaku tak memungkinkan dia untuk tau apakah aku sudah tidur atau belum.

"Belum. Kenapa?" aku mendengakkan kepala agar melihat wajah Dimaz yang masih memerah bekas nangis.

"Besok mau ke makam Mama?" tanyanya yang hampir aja bikin aku mendorong tubuhnya karena terlalu kaget.

Tanganku kembali mengusap pipinya. Mungkin ini adalah tempat favoritku yang ada di tubuhnya. "Aku mau banget."

"Yaudah besok siang, pulang kuliah aku bakal ajak kamu ke makam Mama, sekalian bilang ke Bunda kalau kamu udah hamil. Testpack yang dikasih Bunda kamu simpen aja, buat jaga-jaga siapa tau abis baby kita yang ini lahir kamu bakal hamil lagi." Dimaz mengambil tanganku dan menciumnya berkali-kali. "Aku cinta banget sama kamu, Arkaia Rianti." imbuhnya sambil berbisik di telingaku.

Bikin geli.

"Udah ah, aku ngantuk mau tidur, Maz." aku memunggunginya karena gak kuat nahan gelenyar aneh yang ada ditubuhku. Hari ini Dimaz aneh bin ajaib.

Bukannya diam, Dimaz malah menarikku lagi ke dalam pelukannya. "Malam ini, kamu hadep ke aku dong tidurnya."

Kami berdua menikmati pelukan hangat sebelum tidur ini, meskupun aku gak pungkiri kalau ada sesuatu yang memberontakku untuk terus menjauhinya.

"Kaia." panggil Dikaz lembut.

"Hmm."

"Mulai besok panggil aku sayang dong."

DUBRAK

Masih mikirin hal lain aja ini bocah. Males jawab, aku hanya diam sambil mencari posisi nyaman untuk tidur dalam pelukannya.

Ya Tuhan, tolonglah satukan perasaanku padanya. Jangan biarkan sebagian hatiku memaksaku untuk membenci ayah dari anakku ini ya Tuhan. Ucapku tulus dalam hati sebelum akhirnya ikut tertidur bersama Dimaz dengan dengkuran halusnya.
.
.
.
Pagi harinya aku merasakan pusing yang amat sangat. Muntah-muntah segala lagi. Dulu kayaknya mbak Maya gak segininya deh. Dimaz juga tadi pagi ngotot banget gak mau pergi ke kampus soalnya dia bilang mau fokus jagain aku. Aku sih dijagain Dimaz ogah banget. Yang ada aku pasti yang jagain dia.

Jadwal kuliahnya pagi ini entah kenapa malah membuatku senang. Seenggaknya aku bisa sakit tanpa banyak beban.

Bi Mar dari pagi terus memperhatikanku sampai mengelus tengkukku. Katanya biar mualnya hilang. Dia bilang dia juga udah anggep aku anaknya.

Jadi kangen Julian. Telpon ah...

Deringan pertama dan kedua Julian sama sekali belum mengangkat telponnya. Lama menunggu sampai deringan kesekian dia baru mengangkat telpon.

"Halo mbak." suaranya parau seperti orang yang habis bangun tidur.

"Yan, mbak kangen banget sama kamu. Udah berapa hari coba kita gak pergi berdua." sebenarnya aku hanya mengira-ngira terakhir kami pergi berdua. Biar dikira tau, sok tau dikit gapapalah ya.

"Apaan sih, orang terakhir kita pergi berdua emang udah beberapa bulan yang lalu. Kalo kita pergi pasti suami mbak yang satu itu selalu ngintilin kayak anak ayam."

"Masa sih? Oh iya, mbak ada kabar bagus loh." aku sengaja membuatnya penasaran dengan nada bicaraku yang dibuat seceria mungkin.

"Apaan?" tanyanya datar.

Sorry I Forget YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang