Chapter 18

11.4K 867 13
                                    

Pradit menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan buram. Kepalanya terasa berat dan badannya terasa panas. Melirik sedikit ke meja nakas, jam wakernya menunjukkan pukul enam pagi. Sudah terdengar suara langkah kaki diluar kamarnya.

"A? Kamu udah bangun belum?" Suara Bunda nya membuat Pradit berusaha membuka matanya yang sangat berat. Sesekali mengerjapkan mata, menjelaskan pandangan.

"Bun..." rintih Pradit pelan. Kalau dibilang manja, mungkin iya. Pradit anak terakhir dari empat bersaudara. Anak pertama dan kedua sudah menikah, dan yang ketiga masih kuliah. Oh dan jangan lupa kalau Pradit anak laki-laki sendiri.

Suara pintu terbuka dan langkah kaki mendekat. Berat sekali bagi Pradit untuk membuka matanya. Terasa sentuhan di dahi dan pipinya. Lamat-lamat iya mendengar suara bundanya.

"....dit, kenapa bisa sakit?"

Dan Pradit tidak mendengar suara apapun lagi.

*

"Johan!" Johan menoleh ke belakang ke sumber suara. Ia menemukan Aksa dan Adit yang berjalan menghampirinya dengan tertatih-tatih.

"Ah lo, napa larian, sih?" Keluh Adit setibanya di hadapan Johan.

Aksa menatap Adit jengkel. "Tadi lo mauan ikut ya, nyet."

"Kenapa sih? Ribut amat." Suara Johan membuat Aksa teringat akan tujuannya.

"Pradit nggak masuk?" Tanyan Aksa yang masih mengatur napas.

Johan mengangguk, menatap Aksa dan Adit bergantian. "Kalau mau jenguk, bareng gue. Biar gampang nerobos bunda."

Aksa menyentikkan jarinya. "Ih cakep! Oke deh, pulang sekolah langsung."

"Kenapa lo yang ngatur sih."

"Makasih, Jo!" Tanpa mendengarkan Johan, Aksa langsung meninggalkan Johan disusul Adit.

*

Setibanya di rumah Pradit, mereka-Aksa, Adit dan Johan-menunggu di depan pintu. Entah mengapa Adit ikut. Belum ada yang mengetuk pintu sama sekali.

"Jo, ketuk tuh. Salam lah salam."

Johan mendegus kesal. "Nggak perlu diajarin sama bocah pun gue ngerti."

"Permisi."

Ketukan pertama.

Ketukan kedua.

Pintu terbuka dengan seorang pembantu rumah tangga di hadapan mereka.

"Misi mbok, Pradit ada di rumah, 'kan?"

"Iya, den Johan. Masuk aja. Tadi mbok udah dikasih tau Bunda kalau pada mau dateng."

Mereka pun masuk dan duduk di ruang tamu. Datang lah sesosok Bunda di hadapan mereka. Wajahnya terlihat lelah dan panik.

"Duh, maaf ya. Bunda ndak bisa bantu nyiapin minum. Langsung naik ke atas saja. Nanti biar mbok yang bawain ke atas."

Mereka mengangguk serempak. Saat menaiki tangga, Aksa menyolek Johan dan berbisik, "Johan, Bunda kok kusut banget?"

"Lo belum tau ya? Parah." Johan menggeleng-gelengkan kepalanya dramatis lalu melanjutkan, "Pradit kan anak laki satu-satunya dan Bunda emang selalu berlebihan kalau ngerawat Pradit pas sakit."

Aksa mengangguk-angguk bak orang bodoh. Entah mengapa degub jantung nya tak beraturan. Gelisah dan khawatir.

"Prad? Ini gue Johan, masuk ya."

Napas Aksa tercekat. Pradit sangat pucat dan tampak lesu. Kemudian Aksa merasa bersalah mengingat kemungkinan terbesarnya adalah karena mereka terkena hujan. Bukan, bermain hujan. Aksa mengembuskan napas frustasi. Aksa duduk dipinggiran kasur Pradit. Menyentuh tangan Pradit perlahan, Pradit pun membuka matanya.

Bitter SweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang