Aku telah mendapatkan jawaban setelah berulangkali melakukan shalat istikharah. Jawaban itu tidak muncul dalam mimpi, melainkan dari kecenderungan hatiku. Hatiku cenderung pada Malik. Aku katakan pada Prita agar menyampaikannya pada Saepul bahwa aku sudah mendapatkan calon. Sedangkan kepada seorang guru akhwat yang pernah menelponku tempo dulu, aku menelponnya bahwa aku telah menentukan pilihan dari dua orang ikhwan itu.
Selanjutnya aku mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Malik. Kami bertemu di rumah guru itu. Dia adalah seorang ustadzah yang sering diundang mengisi pengajian dan seminar-seminar keislaman baik di local Jawa Barat maupun tingkat nasional. Namanya Bunda Luthfiah.
"Bagaimana rencana kalian selanjutnya?" tanya Bunda Luthfiah.
Aku menunduk. Sekilas kulihat Malik pun menunduk.
"Sekarang Nak Malik dulu yang bicara, baru kemudian Nak Zaskia," kata Beliau.
"Ada hal yang masih ingin saya tanyakan karena dalam biodata yang saya baca belum jelas. Setelah menikah, Teteh mau berangkat lagi ke Amerika untuk menuntaskan studi. Sebetulnya, orangtua saya sudah merasa sangat cocok, namun satu hal itu yang menjadi ganjalan. Apa hal ini tidak bisa dikompromikan misalnya, Teteh pindah kuliah dan menyelesaikan studinya di Indoensia saja?"
Aku mengangkat wajah. Dan mencoba untuk menentukan kata-kata yang tepat. Aku merasa ini permintaan yang begitu berat.
"Maaf, Kang kalau untuk pindah sepertinya kemungkinannya kecil, karena selain kuliah, di sana juga saya saya sudah menandatangani kontrak kerja dan tidak mungkin dibatalkan. Jika dibatalkan saya berarti telah mengingkari janji."
Kulihat wajah Malik pucat. Dia terlihat lemas. Wajahnya menunduk.
"Kalau boleh saya tahu, mengapa orangtua akang tidak mengizinkan berangkat ke luar negeri?"
"Kami keluarga kecil. Kakak saya sudah menikah dan tinggal jauh dari keluarga. Dia tinggal di Kalimantan. Seandainya saya berangkat ke Amerika, mereka akan merasa sangat kesepian. Saya pun khawatir tidak ada yang memperhatikan mereka, sementara usia mereka semakin sepuh."
Suasana jadi hening. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan menghadapi keadaan seperti ini. Malik pun diam.
"Begini saja, kalian coba bicarakan lagi dengan keluarga bagaimana baiknya. Nanti kalian teruskan boleh lewat email atau telepon," kata Bunda.
Aku dan Malik pulang. Aku menimbang-nimbang lagi apakah aku harus pindah dan memutuskan kuliah di Indonesia saja. Aku merasa kasihan juga dengan kondisi Malik. Aku membayangkan dia mungkin sedang melamun sedih karena tidak bisa meneruskan hubungan ke jenjang pernikahan lantaran orangtuanya yang keberatan. Terkadang aku membayangkan dia sedang memohon kepada kedua orangtuanya sambil sungkem agar diizinkan berangkat ke Amerika, namun kedua orangtuanya tetap tidak memberikan izin.
Aku kembali memikirkan diriku, apakah aku egois? Aku mencari suami supaya bisa menemaniku di Amerika sana. Tiba-tiba timbul penyesalan, mengapa aku dengan begitu mudah memutuskan menerima Malik tanpa menanyakan kepada Saepul dan Dedi, seandainya mereka aku terima apakah mereka siap menemaniku ke Amerika? Tapi semuanya sudah berlalu. Tidak mungkin aku menanyakan itu kepada mereka karena aku sudah mengatakan kepada mereka bahwa aku telah mendapatkan calon pendamping yang tepat. Aku terus menerus memikirkan hal ini semalaman sampai aku tidak tahu kapan aku tertidur lelap.
Ketika bangun, aku melaksanakan tahajjud dan tilawah Quran sampai azan shubuh. Usai shubuh aku mengirim pesan ke ponsel Malik.
Bagaimana keputusanmu? Apa pun keputusanmu akan saya sangat hargai dan tolong komunikasikan kepada saya mengenai keputusanmu itu. Semoga keputusanmu itu adalah keputusan terbaik menurut Allah dan terbaik untuk semuanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/71067355-288-k317361.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Impian🌠
EspiritualNEGERI IMPIAN | a novel © 2016 by Jahar #87 Spiritual 310716 Sepotong kisah tentang Iqbal, Prita, Hamza dan bayang-bayang Zaskia di Amerika. Hamza, anak cerdas yang membutuhkan sosok ibu. Sosok ibu hanya bisa dia dapatkan dari Prita, sepupu ibun...