11. Brother (2)

1K 83 31
                                    

Artha's pov

Aku terbangun, diluar masih gelap. Aku menoleh kearah jam yang tertempel di dinding kamar bercat hijau.

"Jam 11 malam..", gumamku.

Aku lupa menutup jendela kamarku, apalagi tadi sore aku tertidur tanpa sadar. Angin malam menusuk kulit, menerbangkan rambut yang kubiarkan tergerai.

Suasana kota terlihat jelas dari kamarku, kota yang tak tidur meski hari semakin larut. Aku mendengar sayup suara jendela yang terbuka. Jendela yang dekat dengan kamar ku dirumah ini hanya jendela kamar kak Martin. Apa ia belum tidur juga jam segini.

Ku pikir aku salah dengar, Tapi aku lagi-lagi mendengar suara kaca pecah dari arah sana. Aku yakin sekarang suara itu berasal dari kamar kak Martin. Tanpa pikir panjang aku membuka kamarku, dan berlari ke arah kamar kak Martin. Pintunya terkunci, jadi aku ingin mengetuk pintu nya, tapi aku ragu. Tak biasanya kak Martin belum tidur selarut ini. Ada apa?

Tok tok tok

"Kak Tin..", panggilku.

Tanpa menunggu lama, kak Martin membuka kuncinya tapi tidak membuka pintu. Jadi aku membuka pintu itu walau sedikit ragu, takut mengganggu.

Kriieeet

Suara pintu tua itu terdengar sendu dimalam selarut ini.

Aku melihat kak Martin berdiri di balkon sendirian, menatap lampu-lampu kota tanpa menoleh kearah ku. Punggungnya tidak menampakkan keceriaan yang biasa ia tunjukkan. Aku merasa ia sangat sendu, entahlah. Disana, disampingnya ada pecahan bingkai photo. Entah foto siapa.

Aku berdiri di samping kak Martin tanpa menoleh ke arahnya. Aku melihat photo yang pecah disamping kak Martin itu, teenyata itu Photo kak Martin dengan Kak Adelia yang dirangkulnya. Kalau tidak salah itu photo mereka waktu Anniversary 4 tahun 3 bulan yang lalu.

"Kak, aku tahu kalo menyimpan masalah kita sendiri, tak memberitahu siapapun, lalu pelan-pelan melupakannya adalah jalan terbaik agar kita tidak menyusahkan orang di sekitar kita dengan masalah yang kita punya. Tapi berbagi cerita lebih baik buat menyelesaikan semuanya kak. Masalah bukan harus dilupain tapi diselesain. Kadang emang sulit sih, tapi cerita deh kakak kenapa?", aku menoleh ke arahnya.

Tapi ia langsung memelukku, memelukku erat.

Ia hanya memelukku tanpa bicara, aku berusaha mengerti keadaan. Namun aku lalu melepas pelukan kami, berjinjit, lalu menghapus bulir air yang sudah mengalir dari mata nya. Meski dalam gelap aku dapat melihat matanya yang menghitam, dan wajahnya yang biru-biru.

"Sekarang gantian, biasanya kakak yang dengerin cerita Artha kan? Sekarang Artha bakalan dengerin semua cerita kakak. Gak Artha kasitau siapa-siapa deh, cius", aku mencoba mengetahui apa yang membuat kakak ku yang selalu tertawa sekarang menjadi se sendu ini.

"Dek.. kenapa sih pertahanin cinta itu rasanya sulit?", akhirnya ia membuka suara, meski suara nya masih sedikit gemetar.

"Kan kakak yang bilang sama Artha kalo cinta itu seperti hujan, mengalir ikhlas hingga ke muara lautan, dan menerima apapaun yang ia dapatkan saat berada diperjalanan. Cinta itu menopang bukan membebani, dan cinta itu kuat meski berdiri dibawah badai.", kata ku panjang lebar.

"Dek. Kak Adelia tunangan sama Surya, teman kakak yang sering main kesini", kata kak Martin.

Aku menatap mata kak Martin, tapi sepertinya ia kehilangan kekuatan di matanya, ia menatap entah ke arah mana, matanya berbicara jujur bahwa kak Martin sangat terpukul. Aku tak ingin mengomentari apapun ataupun menyalahkan siapapun, jadi aku hanya menanyakan semua yang terjadi.

Why Not Me (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang