Rintik yang Berbisik

79 11 0
                                    

EKSPEKTASI adalah hal yang selalu Samantha hindari setelah acap kali mencecap beragam pil pait yang mewarnai kehidupannya. Mulai dari kedua orangtuanya yang tidak pernah memberikannya rasa dikasihi sampai detik ini, sampai kekecewaan yang ditorehkan oleh mantan pacarnya-atau tunangan? (Persetan, Sam tidak mau repot-repot memikirkan hal itu lagi). Intinya, Sam tidak suka berekspektasi. Ya, kalau ekspektasi itu seindah dengan kenyataannya. Jika kenyataannya tak seindah ekspektasi, bagaimana?

Ini efek malam itu. Obrolan beratnya dengan Arraya seperti lubang hitam yang menyedotnya kembali memasuki babak-babak paling kelam dalam kehidupannya. Dimana ia kembali kemasa-masa terbahagiannya, yang seharusnya tidak perlu singgah lagi di kepala cantiknya.

Menyalahkan Arraya, rasa-rasanya bukan sikap yang bijak. Karena jelas laki-laki itu tidak tahu-menahu mengenai masa lalu Sam.

Sam mengoleskan lip cream merah darah ke bibir sensualnya, sembari menunggu lip cream menyerap di bibirnya, gadis itu mengambil tasnya, merogoh mencari sesuatu lalu tersenyum simpul ketika mendapatkan apa yang ia inginkan.

Sebuah gelang berliontin kecil berbentuk bunga matahari kini berada di telapak tangan gadis itu. Terlihat sederhana, karena tidak terlalu banyak hiasan di gelang tersebut. Gelang itu adalah benda pertama yang dibelinya dengan uang hasil kerja kerasnya sebagai fashion designer selama di New York.

Dikenakannya gelang itu meliliti pergelangan tangan kirinya.

Tersenyum gadis Yamada itu melihat tangannya yang kini terlilit gelang.

Setengah berbisik ia berucap, "Semoga hari ini menjadi hari keberuntunganku,"

***

Dalam kamus hidup seorang Arraya Airlangga, tidak ada namanya kata menyerah dengan mudah-dalam hal ini-menciptakan melodi-melodi yang menggugah emosi para penikmat musiknya. Musik sudah menjadi pelarian Arraya semejak kepergian perempuan yang sangat dicintainya.

Baginya, menekan jari-jari di atas tuts-tuts hitam putih piano mampu membuatnya tenang. Melemparkannya dalam kenangan dimana perempuan itu duduk santai di bawah rindangnya pohon mahoni dengan anak-anak rambut bersurai kecoklatan gadis itu yang tersapu angin sore. Illana tersenyum menyambut kedatangan Arraya, tanpa beban, layaknya tidak pernah merasakan keji dan kejamnya dunia.

Jari-jari Arraya masih berada di atas tuts pianonya, bergerak lincah dari do ke si. Dari dinamika piano ke forte. Lagu yang dimainkannya saat ini terdengar sendu, penuh dengan emosi yang ingin dicurahkan laki-laki itu. Siapapun yang mendengarkannya akan menangkan nada frustasi yang disampaikan Arraya dalam lagunya.

Tangannya berhenti menyentuh tuts ketika pintu studionya berderit. Sesosok perempuan dengan rok span berwarna merah, turtle neck putih, dan blazer berdiri di ambang pintu. Menaikkan satu alisnya karena kedapatan melihat Arraya yang memandanginya di balik grand piano putihnya.

"Bagaimana?" tanya Arraya.

"Apanya yang bagaimana, Pak?" bukannya menjawab, Samantha malah balik bertanya.

"Malam itu, apa kamu benar-benar memimpikan saya?" kini Arraya berdiri dari duduknya, melenggang santai menghampiri Samantha yang duduk manis di salah satu sofa. Ada senyum jahil yang dilemparkan Arraya pada karyawannya itu.

"Saya heran," kata Samantha, lalu membuka-buka majalah musik di meja itu. "Kenapa manager Bapak tidak pernah kelihatan ya di sini?"

Arraya mendengus karena pertanyaan jahilnya tidak ditanggapi oleh Samantha, perempuan itu malah mengalihkan arah pembicaraan.

"Alvina tidak di sini, dia di kantor."

Samantha meletakkan kembali majalah tersebut ke atas meja, lalu memberikan Arraya tatapan bingung.

Ma AntifansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang