Willkommen, Germany!

61 8 0
                                    

JALANAN  masih lenggang ketika Sam mengendarai mini coopernya. Samantha sedang dalam perjalanan ke tempat temannya, untuk mengecek suits yang dibutuhkan Arraya selama tur Eropa dan Amerikanya.

Saking semangatnya, kemarin sepulangnya dari konser peluncuran album baru Arraya, Sam langsung mendesain. Pokoknya, ia harus membuat desain yang membuat laki-laki itu tampak wah di konsernya.

Tidak butuh waktu lama, Sam sampai di tempat tujuannya. Mengetuk pintu dua kali, lalu masuk setelah terdengar sautan dari dalam.

Senyuman Samantha bersambut dengan senyuman manis seorang perempuan paruh baya dengan rambut yang hampir memutih. Wanita itu menyuruh Samantha mendekat.

"Jasnya sudah jadi, pesanan kamu yang kemarin. Dee pasti bangga punya murid seperti kamu, Lyssa."

Samantha menggeleng, "Justru aku yang bangga sama Mbak Dee, Bu. Mbak Dee bisa punya brandnya sendiri. Sedangkan aku, belum sehebat dia."

"Kamu memang selalu merendah, Lyssa. Ibu makin sayang sama kamu," kata wanita itu menepuk-nepuk puncak kepala Sam.

"Ibu nggak keberatan kalau aku minta jahit beberapa jas lagi?" Tanya Samantha, nada gadis itu khawatir.

Pasalnya keadaan Wulandari yang sudah sepuh membuatnya gampang down dan Sam tentu tidak ingin membuat Wulandari  kesusahan.

"Ibu sama sekali nggak keberantan Lyssa, kamu ini kaya ke oranglain aja. Ibu kan udah anggep kamu kaya anak sendiri," kata Wulandari disertai senyuman menenangkannya.

Dari arah pintu nampak seorang wanita tiga puluh tahunan memasuki ruangan.

"Mbak Dee!"

***

"Ibu udah cerita kalau kamu ke sini minggu kemarin, tapi saat itu aku ada di Jogja."

Sam mengangguk mengerti, "Ibu juga udah cerita sama aku kok Mbak, Mbak Dee nggak perlu kepikiran."

Dee menyeruput teh hijaunya sebelum kembali berbicara, "Kenapa kamu mau jadi fashionist artist Sam? Kamu pasti tahu kalau kamu bisa lebih daripada itu kan."

Sam sudah menduga Dee akan mengambil topik ini untuk dibahas. Sebagai guru fashion untuk Sam, Dee tahu jelas kemampuan anak muridnya itu dalam membuat rancangan pakaian. Dan Sam seharusnya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibanding sekarang.

"Jangan bilang kamu masih mau lari dari dia?"

"Mbak Dee—"

"Jangan alihkan pembicaraan Lyssa."

Nada yang Dee keluarkan membuat Sam menghela napas lalu mengangguk. Kenyataannya, ia memang masih menghindari dia. Sam masih belum punya banyak keberanian untuk bertemu kembali dengan dia.

"Apa selamanya kamu akan selalu seperti ini Lyssa? Lari dan sembunyi dari dia? Sudah saatnya dia menjelaskan yang sebenarnya terjadi kan Lyss?"

Sam menggeleng, keukeuh dengan pendiriannya, "Semua yang aku lihat saat itu adalah yang terjadi Mbak Dee."

"Kalau kenyataannya bukan begitu, apa kamu tidak akan menyesal?" tanya Dee.

Sam menunduk, menatap gelas porselen yang terisi teh hijau. Batinnya jadi mempertanyakan keputusan yang telah dibuatnya. "Aku udah nggak peduli lagi Mbak. Sekalinya aku udah disakitin, ya udah, semuanya selesai. Aku bukan orang yang bisa ngasih kesempatan kedua gitu aja Mbak."

Dee tahu sifat Sam yang itu.

Krisis kepercayaan.

Sam bukan tipe orang yang mudah percaya dan memberikan seluruh hatinya pada seseorang. Sam tipe yang hati-hati dalam bertindak apalagi melabuhkan hatinya. Tapi disaat dia sudah menemukan pelabuhan terakhirnya, kenyataan mengatakan bahwa pelabuhan tersebut hanyalah sebuah dermaga masa lalu yang harus ditinggalkan.

Ma AntifansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang