Ciuman Pertama Kelulusan

26 1 1
                                    

"Botani adalah..."

Aku bergumam sendiri dan sesekali melirik Sata yang sedang memegang buku latihan untuk soal-soal ujian akhir sekolah. Dia menepati janjinya dengan membantuku belajar untuk menghadapi ujian akhir. Akhirnya aku bisa merasakan bayangan itu, bayangan yang terjadi di dalam otakku ketika memikirkan bagaimana rasanya jika Sata menjadi guru privat ku. Rasanya benar-benar menyenangkan bahkan melebihi pelajaran itu sendiri.

"Chie, aku sudah mengulangi pertanyaan yang sama tiga kali dan kau masih belum bisa menjawabnya?"

"Sata, aku kan sudah berusaha."

Dia menghela nafas sambil menutup buku tersebut. Ia memijat dahinya perlahan, apa dia begitu stress mengajari aku? Tingkahnya yang seperti itu seperti isyarat yang mengatakan bahwa otakku bodoh. Tapi semua ini bukan sepenuhnya adalah kesalahanku, maksudku bagaimana bisa dia mengharapkan konsentrasi penuh dariku sedangkan duduk berhadapan dengannya seperti ini sudah menyingkirkan semua pelajaran itu dari dalam kepalaku lalu menggantinya dengan fikiran yang penuh dengan Sata.

"Bagaimana kau akan menjawab pertanyaan ujian jika pertanyaan dasar seperti ini saja kau tidak tahu."

"Aku bukannya tidak tahu, tapi aku lupa jawabannya."

"Lalu apa bedanya jika begitu?"

Aku menggembungkan kedua pipiku, cemberut. Aku bisa menguasai banyak pelajaran, tapi untuk pelajaran biologi apalagi mengingat nama-nama latin tumbuhan dan binatang sangat sulit. Tapi Sata membuatnya terlihat mudah dengan ekspresi frustasi seperti itu. Lagipula tidak perlu menunjukkan ekspresi seperti itu padaku kan! Malah membuatku semakin terlihat bodoh saja.

Ketukan pintu kamarku mengakhiri perbincangan kami. Ibu berdiri dibalik pintu sambil tersenyum kearah kami. Melihatku belajar giat untuk menghadapi ujian akhir membuat sikap ibu lebih lembut belakangan ini. Aku tahu setiap ibu di dunia ini pasti merasa senang melihat kesungguhan anak-anaknya ketika belajar dengan serius, ibuku juga termasuk salah satu diantara mereka.

"Sudah jam 9 malam."

"Yaa, baiklah!"

Jam 9 malam, pertanda itu menjadi akhir untuk sesi belajar malam ini. Ibu memang mengizinkan Sata untuk membantuku belajar, tapi aku bisa lihat bahwa ibu mampu membaca fikiranku. Karena yang sebenarnya dibandingkan dengan belajar, aku lebih menilai dapat menghabiskan waktu lebih banyak dengan Sata. Hanya saja sejak aku dan Sata memutuskan untuk berkencan, kami juga sepakat untuk merahasiakannya dari orang tuaku.

Semua orang juga tahu bahwa ayah dan ibuku adalah orang tua yang mementingkan pelajaran, itu sebabnya mungkin akan timbul salah paham jika mengetahui aku sedang berkencan saat ini. Jika suatu saat aku gagal dalam pelajaran atau mendapatkan nilai yang rendah, tentu saja sasaran utama penyebab kejadian itu adalah karena aku berkencan. Orang bodoh juga tahu bahwa ketika sedang jatuh cinta, isi otakmu hanya akan dipenuhhi oleh hal-hal percintaan saja lalu mengabaikan hal yang lain. Namun dalam kasusku cinta dan belajar adalah hal yang berbeda dan sama pentingnya, setidaknya Sata selalu mengingatkanku akan hal tersebut.

Sata juga sepertinya sangat menjaga kepercayaan yang diberikan ibu kepadanya. Selain pembicaraan mengenai tema pelajaran, dia sama sekali tidak mengungkit tentang pembicaraan yang bersifat pribadi. Bahkan ketika kami berdua saja tanpa ada mata yang mengawasi, ia tetap bersikap layaknya seorang guru yang sedang mengajari muridnya. Bersikap kaku seperti itu, sangat cocok dengan kepribadiannya.

"Besok adalah ujian terakhirmu kan? Ini..."

Aku melihat kearah tangan Sata yang terjulur menuju arahku. Sebuah gelang rajutan berwarna hitam ditelapak tangannya cukup menyita perhatianku. Sesekali aku melihat bergantian kearahnya dan kearah gelang tersebut. Karena Sata selalu mengenakan gelang itu, tentu saja aku tidak mengerti apa yang ada didalam fikirannya saat ini dengan memberikan gelang itu padaku.

When Love is BreakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang