Cinta Lama: Teman atau Saingan

21 0 1
                                    

"Sepertinya ini pertemuan terakhir yaa. Banyak diantara kita yang melanjutkan di sekolah yang berbeda. Belum lagi Yagawa-kun juga akan berangkat ke Tokyo lusa."

"Iyaa benar! Selain itu Chie juga sukses masuk SMA Todo, selamat yaa."

Aku tersenyum geli ketika memperhatikan ekspresi wajah teman-temanku satu per satu. Tidak sedetik pun senyum cerah itu hilang dari wajah mereka, meskipun setelah pertemuan ini akan sulit untuk kami saling bercerita dan berkumpul seperti sekarang. Tapi sepertinya mereka sama sekali tidak ingin menghabiskan saat-saat berharga seperti ini begitu saja. Gelak tawa dan canda serasa tidak pernah putus dari mereka semua.

Tahun ajaran baru akan dimulai pada awal bulan depan. Meskipun demikian masih banyak persiapan yang harus dilakukan sebelum benar-benar diterima dalam upacara penerimaan SMA Todo. Itu sebabnya hingga saat ini aku juga masih disibukkan dengan berbagai bentuk penyelesaian berkas-berkas pendaftaran bagi calon siswa yang sudah diterima melalui test.

Aku tertegun sejenak ketika memikirkan kembali bahwa saat memasuki SMA maka pergaulan juga mulai berkembang. Memasuki usia krusial dalam masa pertumbuhan remaja menuju dewasa. Namun apakah setelah masuk SMA aku masih bisa tertawa lepas layaknya saat ini ketika bersama dengan teman-temanku di SMP?

Banyak orang yang bilang bahwa SMA adalah masa pembentukan kepribadian, berbagai ujian dan tantangan akan mulai berdatangan sebagai upaya untuk memperkuat mental jiwa muda. Entahlah itu benar atau tidak, tapi menurutku mungkin saja benar. Mungkin untuk menghadapi semua itu, tidak ada salahnya bagiku mempersiapkan diri untuk merubah pribadiku menjadi yang lebih baik lagi.

Ketika di SMP yang ada di otakku hanya bersenang-senang dan juga bermain dengan teman-teman. Tapi ketika aku mendengar cerita Sata yang juga mengalami perubahan dalam sikap dan perilakunya selama masa SMA, aku merasa bahwa perubahan tidaklah buruk. Permasalahannya terletak pada bagaimana menyikapi perubahan tersebut sebelum memutuskan apakah kita ingin menerima atau menolaknya.

"Sudah sore! Ayo kita pulang."

Aku mulai memeluk teman-temanku satu per satu dengan perasaan bahwa ini adalah terakhir kalinya. Banyak diantara mereka yang tidak akan aku temui lagi dalam waktu singkat. Perasaan sedih mengalir begitu saja dalam diriku, membiarkan hatiku terhanyut dan melepaskan semua luapan emosiku.

Aku menyaksikan satu per satu dari mereka mulai berjalan meninggalkan rumahku sambil melambaikan tangan tanpa menghilangkan senyum cerah itu. Meskipun aku bisa melihat dengan jelas kedua mata mereka yang masih memerah dan bengkak karena menangis.

"Tachibana-san."

"Eh? Yagawa-kun. Kau juga akan pulang?"

"Uhmm, tapi sebelumnya bisakah kita bicara sebentar?"

Aku menganggukkan kepala dan mengikutinya berjalan tepat di belakangnya. Sepintas pandanganku tertuju pada pundak belakangnya yang tegap. Jika difikirkan lagi saat masih berkencan dengannya dulu, tubuhnya masih kecil dan kurus. Tapi sekarang aku mulai bisa melihat tonjolan otot kecil yang muncul pada lengan kaos yang sedang ia kenakan.

"Kenapa berjalan di belakangku? Bagaimana aku bisa bicara denganmu?"

"Hah? Oh, iyaa maaf."

Aku memacu langkahnya dan menyesuaikan agar kami bisa berjalan seiringan. Aku memang tidak berfikir dua kali untuk mengikutinya karena ku fikir ini adalah kesempatan terakhir karena lusa, Yagawa, dia tidak lagi berada disini. Jika dia memang ingin mengatakan sesuatu padaku, maka tidak ada salahnya jika aku memberinya kesempatan dengan mendengarkan apa yang ingin ia katakan.

"Aku, saat kita putus waktu itu aku sebenarnya ingin menanyakan alasannya kepadamu. Tapi aku fikir jika Tachibana-san tidak mengatakannya padaku mungkin karena akan lebih baik untukku. Meskipun begitu setiap kali melihatmu dan berpapasan denganmu di sekolah, pertanyaan itu selalu muncul di kepalaku."

When Love is BreakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang