Pelajaran Sebuah Rasa Sakit

15 0 0
                                    

Tiga bulan setelah kejadian itu, aku masih saja menangis. Aku merasa bangkit dari keterpurukan adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Aku menghabiskan waktuku untuk membaca buku pengembangan diri agar bisa meninggalkan masa lalu dan berjalan lurus kedepan seperti yang dilakukan Sata setelah putus dariku.

"Waktunya pemeriksaan, Tachibana-san."

Aku menghapus air mataku ketika seorang dokter dan beberapa perawat masuk ke dalam ruang rawat inap-ku. Seminggu yang lalu aku masuk ke rumah sakit karena mengalami sakit maag akut. Aku mengalami muntah-muntah dan dehidrasi sehingga membuat khawatir ayah dan ibuku. Dokter yang memeriksaku juga mengatakan bahwa aku mengalami stress berat.

Bagaimana tidak, ternyata putus cinta memiliki dampak yang besar bagi hidupku. Mungkin karena ini adalah pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini. Tidak ada waktu tanpa memikirkan Sata, bagiku setiap helaan nafas adalah dirinya. Apa yang sedang dia lakukan, apakah dia baik-baik saja, apakah dia juga menangis sama sepertiku, apakah dia juga sedang memikirkanku, apakah dia masih menyukaiku. Semua pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu membebaniku setiap harinya.

"Bagaimana keadaanmu hari ini?"

"Sudah lebih baik. Terima kasih dokter."

Aku kembali mengalihkan perhatianku kearah jendela kamar rawat inap-ku. Hanya awan-awan di langit yang bisa aku lihat. Saat ini sudah mendekati awal musim dingin tapi sepertinya salju akan turun lebih cepat di Sapporo kali ini.

"Chie, kenapa tidak berterima kasih sambil tersenyum?" tanya ibu setelah dokter itu keluar dari kamarku.

"Jangan memintaku untuk melakukan hal yang sulit, ibu. Aku mohon."

Air mataku kembali berlinang tanpa aku sadari. Bahkan ketika diajak berbicara saja hatiku terasa rapuh dan saat itu juga air mataku langsung berjatuhan. Itu sebabnya aku memutuskan hanya diam tanpa berkata-kata sedikitpun, bukan karena enggan tapi karena aku merasa rapuh ketika menangis.

"Sudah tiga bulan Chie. Jangan menyiksa dirimu karena pemuda seperti itu."

"Lucu sekali, yang membuatku tersiksa bukan dia tapi ayah dan ibu yang melakukannya. Tapi itu karena rasa sayang kalian padaku kan? Tidak peduli harus berapa banyak kesedihan dan air mataku yang tumpah, asalkan aku tetap berada didalam aturan maka tidak masalah."

"Jangan berkata begitu, Chie.."

"Aku ingin istirahat, bu!"

Aku menarik selimutku lalu mencoba untuk menutup kedua mataku. Aliran air mataku seperti sudah membentuk anak sungai. Ketika terjaga maupun terlelap aku masih tetap menangis hingga rasanya lemah tidak berdaya.

Tapi belum lama mencoba terlelap, lagi-lagi aku terbangun karena pintu suara kamarku yang terbuka. Perlahan-lahan aku mengerjapkan kedua mataku dan menoleh kearah pintu. Aku menemukan sosok yang sudah sangat lama tidak aku jumpai. Rasanya sudah hampir setahun kami tidak berjumpa.

"Daiki-san."

Daiki berjalan menghampiriku, tangan kanannya memegang rangkaian bunga Chrysanthemum sedangkan tangan kirinya menjinjing sebuah parsel buah. Tanpa senyuman di wajahnya ia berdiri dihadapanku. Tatapan sayu dari matanya menggambarkan kesedihan. Ia meletakkan parsel buah tersebut lalu memberiku rangkaian bunga.

Daiki, dia memperhatikan jarum infus yang menembus urat nadiku. Pandangannya seolah-olah mengeksplorasi kamar inap-ku, seperti ada sesuatu yang sedang dia selidiki atau mungkin sesuatu yang sedang ia cari.

"Apa yang terjadi padamu?"

"Aku hanya kelelahan. Tidak perlu khawatir."

"Kau boleh melarangku untuk khawatir jika jarum infus itu tidak menembus nadimu atau jika kau sedang berlari riang kearahku atau jika kau sedang bernyanyi sambil tersenyum padaku."

When Love is BreakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang