"Jangan menangis Chie. Sejak beberapa minggu lalu kau selalu menangis."
Aku mengusap air mata yang sejak tadi membasahi kedua pipiku. Aku duduk sambil memeluk lututku di atas tempat tidur dengan tatapanku yang mengarah keluar jendela. Aku berharap bisa melihat sosok Sata yang sedang berdiri dan tersenyum kearahku. Tapi tidak ada seorangpun disana, bahkan fatamorgana pun juga tidak ada.
Sudah sebulan ini aku tidak melihat Sata, aku tidak tahu dia ada dimana dan apa yang sedang dia lakukan. Aku tidak bisa menghubungi ponselnya sejak sebulan yang lalu. Sejak kejadian itu ayah meminta ibu untuk mengawasiku dan tidak memperbolehkanku keluar dari rumah. Karena urusan pekerjaan makanya ayah harus segera berangkat ke Tokyo. Itu sebabnya ayah tidak bisa mengawasiku untuk sementara waktu.
"Aku sudah meminta Saburo-san untuk menyampaikan pesanmu kepada Sata-san. Jadi tenanglah Chie dan kumohon jangan menangis lagi karena kedua matamu sudah bengkak seperti dipukuli warga satu desa."
Disaat seperti ini kehadiran Umi bahkan tidak berpengaruh sama sekali. Padahal dia sudah berusaha keras untuk menghiburku sejak tadi. Jujur saja aku juga rasanya lelah karena menangis terus-menerus. Aku tahu menangis bukanlah solusi yang tepat, tapi karena tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis.
Aku kesal terhadap diriku sendiri karena tidak bisa tegas mengambil keputusan. Aku selalu terbayang-bayangi rasa takut terhadap apa yang akan ayah dan ibu lakukan pada Sata. Aku takut jika Sata juga merasakan kesedihan seperti yang aku rasakan saat ini. Ingin sekali rasanya melindungi dia yang aku cintai, tapi aku menyadari bahwa tidak ada yang bisa aku lakukan saat ini untuk melindunginya.
"Chie-onee chan."
Aku mengalihkan perhatianku dari jendela menuju pintu kamarku yang terbuka. Sosok Sayuri yang sedang tersenyum manis menambah rasa sedihku. Aku sudah menghubunginya sejak semalam agar datang menjengukku di rumah.
"Sayuri."
"Eh, Umi-nee san juga ada disini yaa."
Sayuri berjalan menghampiriku dengan kedua tangannya yang terbuka. Aku langsung memeluknya dan tangisku kembali pecah. Aku bisa merasakan tangannya menepuk punggungku pelan. Aku tidak kuasa menahan kesedihanku meskipun aku sudah menangis berjam-jam hingga pandanganku mulai terlihat kabur.
"Aku ingin bertemu dengannya, Sayuri. Aku ingin mengatakan semua isi hatiku padanya. Aku takut jika dia berubah fikiran dan memilih untuk melepaskanku."
"Nee-chan, jangan berfikiran yang buruk. Yutaka-san bukan pria seperti itu."
"Bagaimana kau bisa tahu? Bagaimana kau bisa percaya bahwa dia tidak akan berubah, Sayuri?"
"Karena dia adalah pria yang kau cintai, nee-chan. Kenapa nee-chan tidak bisa mempercayainya? Nee-chan yang memilihnya, hatimu yang memutuskan untuk mencintai pria itu lalu kenapa nee-chan tidak bisa mempercayainya?"
Karena Yutaka Sata adalah pria yang hatiku pilih untuk aku cintai, itu sebabnya aku harus mempercayainya. Perkataan Sayuri terasa seperti tamparan keras bagiku. Meragukan perasaan Sata terhadapku disaat seperti ini malah membuat fikiranku bertambah kacau. Tapi jika mempercayakan semuanya pada Sata, bagaimana jika dia yang terluka pada akhirnya? Aku malah lebih tidak bisa menerima hal itu.
Aku kembali menghapus air mataku. Berapa kalipun aku menghapus air mata ini, tapi tetap saja tidak bisa berhenti. Bahkan ketika otakku memerintahkan untuk tidak menangis lagi, tapi rasanya kedua mataku lebih memilih perintah dari hatiku. Kepalaku sampai terasa sakit dan pandangaku berubah menjadi kabur dan samar-samar.
"Nee-chan, aku dan Umi nee-san akan membantumu untuk bertemu dan bicara dengan Yutaka-san. Tapi untuk saat ini tenangkan dirimu dulu, cobalah untuk istirahat walau hanya sebentar. Yutaka-san pasti akan sedih jika melihatmu dalam keadaan seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love is Breaking
RomanceUntuk beberapa alasan aku tidak ingin melepaskannya jauh dariku. Tapi hubungan kami tidaklah sejelas itu, hanya saja banyak orang yang menganggap bahwa sebaiknya status diantara kami diperjelas saja. Tapi ada satu ikatan kuat diantara kami yang m...