6.0

719 106 4
                                    

<Sierra : Al, pulang sekolah, kita ketemu di cafe deket rumahku ya>
<Sierra : ada yang mau aku omongin>

Entah apa yang membuat gadis itu terdorong mengetikkan sebaris kata untuk lelaki tersebut. Yang ia tahu hanyalah, ia lelah menyakiti sahabatnya sendiri.

Tapi, bukankah tindakan selanjutnya juga akan membuat dirinya tersakiti? Bukankah Alfa juga akan tersakiti?

Entahlah.

::::::

Alfa tiba di cafe tersebut dengan tepat waktu bersama seulas senyum lebarnya. Ia mengenakan sweater abu-abu kesayangannya untuk melapisi seragam. Memang itu kebiasaannya, Sierra sudah hafal itu.

Sierra membalas senyuman Alfa dengan senyum setengah hati. Melihat senyum lebar di wajah Alfa, hatinya tiba-tiba meragukan kemampuannya untuk mengatakan hal tersebut. Tegakah ia menghancurkan senyum Alfa? Tegakah ia menyakiti seseorang yang disayangi dan menyayanginya?

Terbayang olehnya wajah November yang sembab karena menangisi Alfa yang ternyata sudah memiliki seseorang di hatinya.

Ya, itu Sierra.
Gadis yang berada di dalam hati Alfa adalah dirinya. Gadis yang membuat tetesan air mata mengakur di wajah November adalah dirinya.

Ia benci mengakuinya, tapi memang dirinya yang menghancurkan hati sahabatnya sendiri. Mengapa ia tak memberi tahu November lebih awal?

Bodoh.

Sierra menatap Alfa dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia menyiapkan sebaris kalimat yang akan diucapkannya pada lelaki di hadapannya ini.

"Ada apa, Ra? Kamu kangen ya sama aku?" tanya Alfa dengan cengiran lebarnya. Khas Alfa. Sierra jadi tak ingin merusak cengiran yang selalu ia rindukan.

Inget November, Ra, bisik hati kecilnya.

"Al," ucap Sierra pelan. Batinnya menjadi bimbang. Ia tidak ingin menyakiti Alfa saat ini. Sangat tidak ingin. Ia sangat menyayangi Alfa. Tapi November..

"Ya? Kamu kenapa sih? Lagi bete ya, Ra?" tanya Alfa dengan wajah bingung.

Sierra menggeleng perlahan. "Ada sahabatku, dia suka kamu. Dia sayang banget sama kamu," ucapnya sambil tersenyum kecil. "Tapi kamu malah---"

"Aku sayang banget sama kamu," kata Alfa. "Jadi buat apa peduli sama dia?"

"Kamu malah bilang kamu punya pacar," lanjut Sierra mengacuhkan perkataan Alfa. "Dia nangisin kamu."

"Bukan salahku, Ra. Kan kita emang pacaran? Salah ya aku bilang gitu?" tanya Alfa dengan wajah bingung. "Kamu maunya apa sih, Ra?"

Sierra terdiam sejenak. Alfa tidak salah. Mereka memang mempunyai sebuah hubungan, jadi bukan salah Alfa memberi tahu hal tersebut. Tapi November...

"Aku mau.." Sierra terdiam sejenak. "Aku mau kamu buka hatimu buat November, Al."

Alfa tersentak kaget, "Kamu kenapa sih, Ra? Tuh kan emang dari awal ada yang aneh. Tiba-tiba banget kamu ngajak ketemu."

Sierra terdiam, tidak mampu menatap kedua bola mata lelaki tersebut. Ia tidak ingin menyakiti Alfa. Tapi ia juga tak tahan melihat sahabatnya tersakiti.

"Aku cuma mau ngomong itu, Al," ucap Sierra lirih. "Udah, ya."

Setelah mengatakan hal tersebut, Sierra bangkit dari tempat duduknya, hendak bergegas pergi. Pergi meninggalkan kekacauan yang ia buat. Tapi keputusan ini sudah benar, kan?

"Ra, jelasin," panggil Alfa sambil menarik pergelangan tangan gadis itu. "Maksud kamu, kita putus?"

Sierra mengangguk perlahan, kemudian menatap wajah Alfa yang dipenuhi kekecewaan. "Aku gak mau nyakitin November. Aku gak mau persahabatanku hancur cuma gara-gara... hal ini."

"Ra, aku gak ngerti jalan pikiran kamu. Tapi..." Alfa terdiam sejenak, berusaha menyusun kata-kata yang sejak tadi berseliweran di otaknya.

Sierra terdiam. Menunggu sebaris kata yang akan meluncur dari mulut Alfa. Terserah Alfa ingin marah, ingin kecewa, atau apapun. Sierra tahu dirinya mengambil keputusan yang tepat. Tapi, tetap saja. Melihat kekecewaan yang terpancar di kedua bola mata Alfa membuat hatinya hancur. Terlebih, dirinyalah yang menjadi alasan kekecewaan lelaki tersebut.

"Kamu harus tau, aku sayang kamu. Sayang banget," ucap Alfa sambil tersenyum. "Aku bakal lakuin semua yang bikin orang yang aku sayang bahagia. Kamu mau aku sama sahabatmu? Aku lakuin, Ra."

Sierra memaksakan seulas senyum tipis di bibirnya. Rasa sakit terus meremas batinnya, menghancurkan hatinya menjadi kepingan kecil. Mengapa sekarang ia justru menyiksa dirinya sendiri?

"Makasih, Al," ucap Sierra lirih kemudian melepaskan tangan Alfa yang menggenggam pergelangan tangannya. "Makasih buat semuanya."

Alfa menatap kedua bola mata gadis itu, "Aku sayang kamu, Ra."

Sierra tersenyum, kemudian bergegas pergi dari tempat itu.

Aku juga sayang kamu. Kata itu tertahan di tenggorokan, menunggu diungkapkan.

Setelah mengatakan hal tersebut, tidak ada rasa lega di hatinya. Yang ada justru rasa bersalah yang semakin mencekiknya.

Drrrtt.. Drrrtt..
Ponselnya bergetar mengisyaratkan adanya panggilan. Untuk sejenak, gadis itu berharap bahwa lelaki yang tadi menemuinya di cafe itulah yang menghubunginya.

Cepat-cepat, ia menepis pikiran tersebut. Alfa sudah bukan siapa-siapa.

Sierra membaca nama yang tertera di layar itu. Papa.

Tumben banget, pikirnya dalam hati.

"Halo," ujar Sierra membuka pembicaraan.

"Ra, papa baru dapet info. Katanya, Papa bakalan dipindah ke luar kota," kata papanya. "Kamu gak masalah kalo harus ikut?"

"Oh, oke. Gak masalah," jawab Sierra sambil tersenyum tipis. Kepergiannya juga dapat membantu dirinya untuk melupakan Alfa, kan?

"Kira-kira kamu mau mulai pindah kapan? Soalnya papa juga mau ngurus berkas-berkas,"

"Secepatnya,"

"Oke,"

Kemudian, sambungan telepon tersebut diputus.

Sierra terdiam. Rasanya, ia terlalu pengecut. Kabur dari masalah yang ia buat. Lari dari imbas keputusan yang telah ia ambil.

Tapi, dirinya juga tidak ingin melihat Alfa bersama November.

Entahlah.
Bukankah ini yang Sierra mau?

Mendadak, gadis itu jadi ragu.

::::

HAAIII!! Ditunggu yaa vommentsnya❤️

Udah mau habis lohh

ASN #1 : [&]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang