"Panas..."
Kuhalau teriknya matahari dengan sebelah tanganku ketika aku mendongak menatap langit cerah. Biru, dan sedikit awan putih yang menghiasi langit. Tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan sedikit pun, bahkan awan seolah menguap karena hanya terlihat ada beberapa saja yang menghiasi langit. Gumpalan-gumpalan awan kelabu yang biasa kulihat di musim hujan tidak kulihat di langit sekarang ini, yang ada hanya langit biru yang cerah.
"Sudah kuduga seharusnya aku tidak pulang terlebih dahulu sebelum langit berwarna jingga."
Jika aku sedikit menghabiskan waktu hingga sore hari di sekolah, aku tidak akan mengalami kepanasan seperti ini di jalan beraspal. Hanya saja untuk beberapa alasan aku benar-benar ingin pulang ke rumah meskipun panas di siang bolong seperti ini.
"Aku meleleh... Bahkan es krim yang ada di tanganku sudah lama meleleh termakan teriknya matahari, tak lama lagi mungkin aku yang selanjutnya benar-benar meleleh... Apa tidak bisa turun hujan saja di hari ini?"
"Tentu saja tidak bisa. Lagipula ini musim kemarau, jika kau ingin hujan turun tunggu empat atau lima bulan ke depan."
"Terlalu lama... Aku bisa meleleh duluan di jalan kalau begitu."
"Kau terlalu banyak mengeluh, Rey. Dani saja bersikap normal meski mengeluarkan banyak keringat."
"Dini, kau tidak akan pernah tahu apa yang ada di dalam otaknya saat ini."
"Apa maksudmu?"
Jujur saja aku ingin memberitahu apa yang sedang laki-laki di sebelahku ini pikirkan. Tapi setelah kulihat kembali wajah polos Dini yang sangat ingin tahu, aku tidak tega untuk mengatakannya, sejujurnya aku sangat tidak ingin memberitahukannya.
"Lupakan saja."
Senin, 3 Juli.
Setelah liburan semester, kini kami baru saja pulang dari sekolah kami.
Andini Fitriani, gadis di sebelahku ini merupakan temanku sedari SD. Gadis yang mempunyai rasa ingin tahu besar ini selalu membuatku repot karena terkadang tak bisa membaca situasi dan keadaan. Terkadang beberapa pertanyaannya juga sempat membuat lidahku kaku untuk menjawab.
Daniel Pratama, laki-laki di sebelahku dengan tampang datar ini sebenarnya mempunyai pemikiran yang sangat kotor. Jika orang lain yang tak mengenalnya lama seperti aku yang sudah mengenalnya sejak bangku kelas satu SD, aku yakin orang lain akan tertipu dengan poker face-nya. Terkadang aku juga iri dengan kehebatan poker face yang dia miliki itu.
"Hitam lebih terlihat dewasa untuk tante yang di sana itu. Yup, rok mini boleh juga untuk gadis yang baru puber seperti dia..."
Ah, aku mendengar apa yang dia gumamkan.
Yah, musim kemarau seperti ini adalah musim kesukaan Dani. Banyak orang menggunakan pakaian berbahan tipis dan mudah menyerap keringat di musim seperti ini, dan di situlah Dani senang mengamati para wanita di jalan.
Kutolehkan kepalaku di mana mata Dani menatap. Wanita dewasa yang memakai kaos tipis di depan rumahnya itu sedang mengangkat jemuran. Ketika dia sedang mengambil jemuran di depan rumahnya, kaos tipis yang di pakai membuat dalamannya tercetak jelas, hitam! Hmm, kali ini aku setuju dengan pemikiran Dani.
Tidak jauh dari wanita dewasa tersebut, seorang gadis yang kukira sepantaran dengan kami sedang duduk di depan teras rumahnya. Gadis itu sepertinya sedang sibuk chatting di sosial media, sampai-sampai dia tak menyadari jika rok mini yang dia gunakan tersingkap hingga memperlihatkan paha putihnya. Yup, yang ini aku juga sependapat dengan Dani.
"Rey, wajahmu memerah. Apa kau terserang demam?"
"Ti...tidak ada apa-apa."
Ah, sudah kuduga aku harus belajar dari Dani caranya membuat poker face. Dan Dini, kau tahu aku tidak sanggup melihat tatapan khawatir yang kau berikan untukku. Aku merasa tidak pantas untuk menerimanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fake Lover Romantic Comedy
Teen FictionTerkadang aku juga tidak mengerti tentang diriku sendiri. Apa yang kurasakan membuatku selalu berpikir ulang kembali. Apakah ini cinta? Ataukah hanya sebatas kasih sayang belaka? Entahlah, yang kutahu perasaan ini tumbuh sedikit demi sedikit, hari d...