Replika III

82 26 3
                                    

"Kamu ngapain?" Tanya wanita itu padaku.

"Engga ngapa-ngapain," jawabku.

"Kalo gitu, berhenti natap aku kaya gitu," pintanya tanpa aku acuhkan. Kemudian dia menggosokan telapak tangannya di wajahku.

"Iya, iya, aku berhenti." Kataku sambil merapihkan wajahku yang ia acak-acak.

"Emang muka aku kenapa? Ada yang salah?" Tanyanya sambil meraba-raba wajahnya. Aku menyangga daguku dengan tanganku lalu kembali menatapnya.

"Enggak, kamu lucu, aku suka deh," gumamku tanpa kusadari,

"Hah? Kamu apa?" Tanyanya langsung saat aku menyelesaikan kalimatku. Wajahnya memerah, matanya membulat, mulutnya sedikit terbuka.

"Eng-engga, apa? Aku apa?" Aku yang kaget langsung menegakan badanku.

"Tadi kamu bi-" ucapannya terpotong saat seseorang yang membawa dua gelas green tea berada di sebelah kami.

"Ini pesanannya," ujar pelayan itu sambil tersenyum. "Selamat menikmati."

"Ini pesanannya, mas," suara itu membuyarkan lamunanku, kemudian dia meletakan segelas green tea di hadapanku. "Selamat menikmati."

Ia tersenyum yang kemudian aku balas senyuman itu diakhiri pernyataan "Terima kasih."

Pelayan itu pun pergi.

"Itu satu tahun lalu, kan? Saat kita belum pacaran." Gumamku, dan aku bergumam kepada bangku kosong di depanku.

Hari ini, jam ini, menit ini, bahkan tempat duduk semua sama seperti satu tahun yang lalu, saat aku masih melakukan masa-masa pendekatan kepada Tiara, yang berbeda hanyalah satu gelas green tea yang dibawa pelayan tadi, dan kursi yang berada di depanku saat ini, kosong.

Aku masih bingung dengan perasaanku. Entahlah, aku tidak tahu bagaimana rasanya, mungkin lebih pait rasanya kopi hitam daripada putusnya hubunganku dengan Tiara.

Kuhisap green tea itu melalui sedotan yang disematkan di dalam gelas. Tiara kini berada di depanku, dia tersenyum kepadaku. Senyumannya tulus, dan manis. Bahkan green tea ini masih kalah manisnya dari senyuman Tiara, senyuman termanis yang pernah ia berikan. Aku pun membalas senyumannya dengan senyuman termanisku.

"Perasaan kamu gimana saat kita putus?" Tanyaku padanya saat aku selesai menghisap green tea-ku. Dia diam. Aku mengalihkan pandanganku kepadanya, tapi yang aku lihat, hanyalah kursi kosong dengan sandaran berwarna hitam.

"Khayalan," gumamku pelan. "Seperti seorang pecandu saja,"

Mungkin aku memang seorang 'pecandu Tiara'

Aku melihat keluar jendela mengamati jalan-jalan yang berada di bawahku. Kafe ini memang terletak di lantai dua di mall ini, dan kafe ini menjadi kafe favoritku. Disini aku bisa melihat pemandangan orang-orang yang berlalu lalang disini. Dan juga di tempat ini, aku... ah lupakan.

Hanya sedikit mobil pribadi yang melewati jalan ini, kebanyakan adalah angkutan umum dan motor-motor yang kukira itu adalah ojek.

"Kenapa?" Tanya Tiara padaku.

"Enggak. Kamu tahu? suatu saat, aku akan bawa kamu jalan-jalan dengan mobil seperti itu," jawabku sambil menunjuk mobil sport berwarna hitam dengan strip kuning di sisinya. Elegan.

Tiara hanya tertawa sambil menutupi mulutnya. Ciri khas Tiara jika tertawa menutupi mulutnya, dan itu membuatnya semakin... imut.

Aku memandangi Tiara, ia cantik. Dengan baju merah muda berumbai di bagian perutnya, seperti dress. Tanpa make up, tanpa perhiasan, terlihat begitu natural.

"Kenapa? Kamu gak mau?" Aku bertanya dan menebak.

"Enggak enggak. Katanya kamu gak suka warna kuning."

"Emang, sih, tapi aku suka sesuatu yang..." aku menggantung ucapanku.

"Elegan?" Potong Tiara sebelum aku melanjutkan kalimatku.

Aku hanya mengangguk pelan.

Cihh, kenangan setahun lalu menghantuiku. Lagi. Aku sudah mencoba membuang jauh-jauh dari pikiranku. Tapi, semakin aku mencoba melupakan satu kenangan, kenangan lain ikut bermunculan dengan sendirinya. Untung aku tidak gila dibuatnya.

Aku ingin tahu, bagaimana perasaan Tiara sekarang. Setelah tiga hari putus, kita tidak pernah berhubungan lagi, bahkan untuk sekedar menyapa dan memberi senyum.

Seperti anak kecil saja, batinku.

Sepertinya aku harus menyapanya duluan. Aku segera mengambil handphone ku dari dalam sakuku, segera ku buka bbm dan menekan percakapanku dengan Tiara.

Hey, aku mengetik di kolom chat.

Lalu ku tekan tombol bergambar pesawat. Tapi jempolku tiba-tiba berhenti bergerak. Aku takut. Aku tidak berani mengirimkannya. Tanganku sedikit bergetar. Jempol ku berpindah dengan sendirinya dari tombol bergambar pesawat, bergerak menuju tombol segilima miring dengan 'x' di tengahnya. Ku tekan tombol itu dan perlahan-lahan kata 'hey' menghilang satu demi satu huruf.

"Apa aku selemah ini?" Tanyaku pada diriku sendiri.

Seperinya aku memang selemah itu, ku lock hp-ku dan kembali memasukannya ke dalam saku celanaku.

Aku mengamati sekeliling, entah apa yang kucari, hanya mengamati, apa tidak boleh? Pria botak dengan beberapa lipatan di lehernya sedang merokok. Seorang wanita yang berpenampilan baju terusan hingga atas lutut, bedak tebel, dan lipstik yang udah kaya Joker. Sekumpulan wanita penggoda, Nico, remaja-remaja alay, cab- Ehh... tunggu! Nico! Aku bisa mengajaknya untuk mengobrol.

"Ni-" panggilanku tersangkut di tenggorokanku. Karena aku melihat seorang wanita dengan rambut hitam mengkilat, baju pink dan rok pendek berwarna pink, entahlah mungkin dress selutut dengan umbrai mengelilinginya, ia menghampiri laki-laki itu. Aku sangat kenal wanita itu, apalagi tas kecil yang ia gantung dilengannya.

Tiara? Apa yang ia lakukan bersama Nico? Jangan-jangan... tidak! Tidak mungkin, kan? Masa sahabat nikung sahabat sendiri. Wah, gak beres nih.

Mereka tertawa. Tiara sempat memukul pundak Nico di sela tawanya. Hatiku menjadi panas. Mungkin wajahku memerah, aku tidak tahu karena tidak ada cermin.

"Sialan, Nico!" Geramku pelan. Sambil mengepalkan tanganku dan memukul meja tak bersalah. Saat emosi bahkan yang tak bersalah pun terkena dampaknya.

Mereka berjalan dan memulai emmm... kencan mereka?

Aku segera berdiri, berjalan beberapa langkah, kemudian kembali ke mejaku. Green tea-ku masih penuh. Aku minum dengan sekali hisap dalam posisi berdiri hingga green tea itu hanya tersisa beberapa mili.

Aku berjalan cepat menuju kasir, mengeluarkan uang Rp20.000 dan berkata "Meja delapan, ambil kembaliannya." Lalu bergegas pergi.

Pelayan itu melambaikan tangannya bermaksud memanggilku. Tapi aku tidak memedulikannya dan terus berjalan.

Kemudian ia berteriak "Mas, uangnya kurang!"

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang