Replika X

6 3 0
                                    

Aku berjalan melewati pintu kelasku yang terbuka lebar, mempersilahkanku masuk, seolah tahu apa yang akan aku lakukan setelah melewatinya.

"Emmm... Nic," sapaku kepada Nico saat berhenti di sisi bangkuku.

"Hmm?" Balasnya sambil menaikan satu alisnya, kemudian melihat hpnya lagi. Menaikan alis adalah satu-satunya kelebihan Nico, dan itu selalu menyebalkan ketika dilihat.

Aku menghela napasku, aku harus bisa mengatakannya! Demi persahabatan!

Aku berkata,

"Maaf sikap gue yang kemaren-kemaren,"

"Yang mana?" Tanyanya tanpa memindahkan pandangannya.

Sialan! Dia membuatku menyesal mengatakan ini. Tapi aku sudah membulatkan tekadku. Sekali lagi, demi persahabatan!

Aku menghela napasku, kemudian menjelaskan semuanya,

"Yang kemarin gue cuekin lo, banting buku di meja, gak acuhin lo saat lo nanya gue. Dan yang paling gue sesali adalah..." aku menarik napas dalam-dalam, "gue udah salah sangka sama lo, itu yang bikin gue ngelakuin hal-hal yang tadi gue sebut,"

Nico hanya menatapku dingin. Tidak biasanya.

"Gue serius, Nic. Dari hati gue yang paling tulus,"

"Setulus lo cinta sama Tiara?" Pancingnya.

"Setulus gue cinta sama Tiara!" jawabku mantap tanpa perlu pikir panjang.

Dia hanya tersenyum tanpa ekspresi, ada roman terpaksa di wajahnya.

"Ayolah, Nic. Maafin gue. Gue tahu gue salah, gue tahu gue udah salah sangka, dan gue tahu, gue udah bikin persahabatan kita hampir hancur. Dan gue gak mau itu terjadi. Cukup hubungan gue sama Tiara aja yang hancur. Karena gue sadar, cuman lo yang selalu ada disaat gue jatuh, Nic."

Nico berdiri lalu memasukan hpnya ke dalam sakunya. Kemudian ia hanya diam.

"Sekarang terserah lo, Nic," ucapku lemah, "gue udah minta maaf. Yang cuma gue pengen, persahabatan kita jadi utuh kayak dulu lagi."

Ia bergerak mendekatiku, lalu mengangkat tangannya. Aku bisa melihat setitik senyum di wajahnya. Namun, belum sempat kubalas, tangan Nico sudah melayang ke arah pipiku.

Emosiku yang memuncak tiba-tiba reda begitu saja saat melihat wajah Nico tersenyum tulus, seperti biasa.

"Happy Birthday, ya, Sahabat!" Ucapnya. Saat hendak membuka mulutku, Nico sudah merangkul kepalaku dan 'mengulek'nya.

"A-aw! Sakit!" Pekikku tertahan.

"Lo so puitis tahu gak!" Komentarnya kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Lagian gue udah tahu semuanya, Tiara yang cerita ke gue." Lanjutnya di sela-sela tawanya, "lo belum traktir gue!"

"I-iya, tapi lepasin! Sakit tahu!"

Nico berhenti seketika. Kemudian melepaskan rangkulannya, dan memberi jitakan terakhir sebelum benar-benar lepas.

"O-oke, maaf, tadi berlebihan." Akunya.

Aku menghela napasku sambil merapihkan rambutku--yang memang dari awal sudah tidak karuan.

Aku tidak sadar bahwa sedari tadi aku dan Nico jadi pusat perhatian seluruh murid di kelasku. Saat sadar aku langsung melempar tasku ke meja dan duduk dengan wajah menahan ekspresi malu.

"Dari dulu mereka gak berubah ya, tetep aja homo." Celetuk seorang siswi di depan kelas. Seluruh murid pun tertawa.

"Gue pengen daftar juga dong LGBT," goda seorang siswa di depanku.

"Berisik!" Teriakku yang juga tidak kalah berisik.

"Udah, udah kasian," Jerry membelaku. Akhirnya ada yang membela, aku sedikit lega. Tapi kelegaan itu musnah saat Jerry berkata, "biarkan mereka melanjutkan ritual LGBTnya dengan damai."

Seluruh murid tertawa. Nico cekikikan. Gue pengen mati, lagi.

Mereka yang telah berbicara seperti itu dulunya memang satu kelas denganku saat SMP. Dan kini tetap satu kelas. Dunia ini sempit.

"Gay!"

"Homo!"

"Lesbi!"

Semua orang langsung memandangi Nico yang meneriakan kalimat terakhir. Lagi-lagi, Nico membuktikan bahwa otaknya sedikit geser. Untung saja aku sudah kebal dengan segala bentuk tingkah lakunya yang melanggar undang-undang kenormalan siswa.

Kelas tiba-tiba hening. Aku yang sedari tadi menutup wajahku dengan tas langsung merapikan bangkuku karena aku melihat guru dengan aura membunuh tinggi berjalan di depan kelas. Langkahnya begitu anggun, tapi tidak dengan tatapannya. Matanya seolah bisa merobek seluruh kertas ulangan dengan nilai bagus yang aku miliki. Walaupun tidak ada satupun nilai ulanganku yang melebihi kkm.

"Pagi anak-anak!" Sapanya dengan nada yang lembut tapi tersirat rasa ingin membunuh.

"Pagi!" Balas seluruh murid.

"Kumpulkan tugas yang minggu kemarin ibu tugaskan!"

***

Lapangan upacara yang multitalent sebagai lapangan olahraga kini diisi dengan sorak-sorak murid yang melakukan pemanasan.

"Lima! Enam! Tujuh!"

Dan juga diisi oleh murid yang menghormat kepada tiang bendera.

Ya, bisa kalian tebak, itu aku. Aku tidak mengerjakan tugas yang Bu Deli suruh. Walaupun aku sudah memberi alasan bahwa aku lupa, aku tetap dihukum. Tapi, aku tidak sendirian. Ada Nico yang dengan bodohnya mengatakan dia belum mengerjakan tugas padahal seluruh makalahnya telah tersusun rapih. Lagi-lagi, persahabatan kami diuji.

Bukan hanya guru yang menghukum kami. Matahari pun ikut-ikutan memanaskan kepala kami. Dan sayangnya, kami tidak menggunakan topi.

"Tapi lo sadar gak, Ndre?" Tanyanya tanpa bergerak sedikit pun.

"Sadar tentang apa?"

"Sadar tentang KITA HORMAT PADA APA?! TIANG BENDERA?!" Jawabnya dengan berteriak. Aku yakin, walaupun aku tidak melihat sekelilingku, sekelilingku sedang memperhatikanku.

"I-iya sih," jawabku sambil memandangi ujung tiang bendera yang tak mengikat apapun.

Entahlah mengapa aku bisa dekat dengan Nico yang notabene otaknya begitu 'encer', bahkan sampai tak tersisa. Tapi cuma dia yang selalu ada disaat apapun. Bahkan saat Tiara sudah meninggalkanku.

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang