Replika VII

44 7 3
                                    

"Loh, Andre? Terlambat juga?" Tanya wanita itu padaku dengan wajah herannya.

"I-iya," jawabku sambil mengangguk kecil. "Kamu baru sadar?"

"Iya nih, soalnya tadi deg-degan banget, soalnya takut dibawa ke BP sama dilaporin ke orang tua,"

Aku lupa, Tiara itu manusia yang paling anti dengan yang namanya BP. Walaupun tidak selamanya yang ke BP itu bermasalah.

"Untungnya kamu, aku, dan yang lainnya cuma disuruh bersih-bersih masjid." Lanjutnya.

Ya, Tiara benar. Aku, Tiara, dan empat orang lainnya saat ini sedang membersihkan masjid. Aku, Tiara, dan Faizal sedang mengepel bagian dalam, sedangkan tiga murid lainnya mengepel bagian luar.

Tapi ada yang menggangguku.

"Akan lebih sederhana jika kamu singkat kata 'aku dan kamu' menjadi 'kita'." Komentarku kepada ucapan Tiara yang barusan.

"Tidak ada 'kita' lagi Ndre, diantara kamu dan aku," balasnya sambil tersenyum sendu. "Dan kata 'kita' itu tidak sesederhana yang kamu bilang barusan. Perlu tanggungjawab bagi setiap orang yang kamu sebut 'kita'."

Entahlah apa yang ada dipikiran Tiara saat ini. Kata-katanya membuat suaraku tertahan di tenggorokanku. Mungkin dia benar, di dalam 'kita' harus memerlukan tanggung jawab. Aku hanya melanjutkan hukumanku.

Aku berniat untuk menanyakan hal yang terjadi dua hari lalu, saat dia jalan bersama Nico. Tapi aku tidak bisa mengatakannya, lebih tepatnya aku tidak ingin membuat masalah ini menjadi lebih besar.

Terjadi keheningan diantara kita. Emmm... maksudku, diantara aku dan Tiara.

"Maaf untuk yang barusan," ucap Tiara memecahkan kesunyian sambil melangkah menjauhiku. Kurasa dia sudah selesai dengan tugasnya. Aku pun segera menyelesaikan beberapa lantai yang tersisa.

"Kenapa, nih?" Tanya Faizal yang tiba-tiba yang entah sejak kapan berada di sebelahku.

"Enggak ada," jawabku lesu. Sepertinya baru murid kelasku saja yang tahu aku putus dengan Tiara.

***

Hari ini begitu sial buatku. Datang terlambat, ulangan Fisika mendadak, remedial Sejarah, dan yang paling buruk, tidak ada satu pun temanku yang menyapaku. Membuat suasana hatiku semakin kacau saja. Apa gara-gara aku bolos jam pelajaran kemarin, dan mereka menganggapku mencoreng nama baik kelas? Aku rasa tidak mungkin. Jika tahu begini, aku tidak akan sekolah saja.

Bel pun berbunyi, seluruh murid diperbolehkan pulang. Tapi tidak ada satu orang pun di kelasku yang berdiri dari bangkunya. Karena KM sialan akan mengadakan rapat yang entah membahas apa.

"Ekhem... ekhem," Jerry, KM kelasku, laki-laki berkacamata persegi panjang dan tatapan yang bersahabat mencoba mengalihkan perhatian semua murid kepadanya. Walaupun wajahnya bersahabat, tapi tidak akan ada seorang pun yang berani melawannya ketika marah, untung saja ia jarang marah. Adolf Hittler masa kini, itulah julukan yang diberikan teman-temanku.

"Teman-teman, jadi, kelas kita ini sedang terlibat masalah baru. Masalah yang dianggap sepele oleh pelakunya, tapi berdampak pada kelas kita, pada harga diri kelas kita," tuturnya dengan penekanan di akhir penuturannya.

"Tidak usah berbelit-belit, Andre!" Panggilnya lembut, tapi membuat tubuhku bergetar. Seliruh murid menatapku, "kamu tahu apa yang kamu lakukan kemarin?"

"Tidak, maksudku, apa yang kulakukan?" Jawabku terbata-bata.

"Seperti yang kubilang, masalah yang dianggap sepele oleh pelakunya, tapi berdampak buruk pada kelas kita," katanya kepada seluruh murid.

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang