Replika VIII

21 5 0
                                    

"Buka! Buka! Buka!" Seluruh siswa menyemangatiku untuk membuka hadiahnya. Dan mau tidak mau aku pun harus membuka kado tersebut.

Kertas kado telah kubuka, dan masih ada lagi kertas yang lainnya. Kupikir ini untuk berjaga-jaga agar tidak mudah sobek. Dua, tiga, empat, BERAPA BANYAK LAGI KERTAS YANG ADA DI DALAMNYA?!! Aku menatap teman-temanku. Mereka hanya tersenyum. Tapi Nico dan Jerry membuang pandangannya sambil bersiul. Pasti mereka yang melakukannya, atau setidaknya yang memberikan ide.

Aku pun merobek sisa lapisan yang ada secara paksa. Kotak itu pun terbuka. Dan isinya adalah... kertas? Apa maksudnya? Aku membolak-balikan kertas itu.

Andre F. Al-Azmi, begitulah yang tertulis di sudut kanan atas kertas itu. Di bawahnya ada tulisan SEJARAH dan di tengah-tengahnya terdapat tinta merah berbentuk angka lima puluh empat.

I... ini kan? Aku menatap Jerry dan Surya. Jerry masih di tempatnya sambil tersenyum, sedangkan Surya sudah berada di depan kelas. Aku segera melemparkan kotak itu ke kepala Surya. Dan tentu saja tidak akan sampai.

"Kampret!" Gerutuku. Surya hanya menjulurkan lidahnya, ingin sekali aku menghajarnya.

"Kado yang tadi hanya bercanda. Ini yang asli," ujar Tiara langsung memberikan hadiah dengan pembungkus yang sama.

"Aku harus mengeceknya!" Teriakku.

"E-eeh jangan, jangan!" Tanganku ditahan Jerry. "Nanti saja di rumah, ya."

"Mencurigakan," komentarku. Tapi aku meng-iya-kan saja permintaan Jerry.

"Ngomong-ngomong, soal dikeluarkan tadi, lo serius?" Tanyaku pada Jerry.

"Lo percaya?" Kemudian Jerry tertawa dan diikuti teman-temanku yang lain. Begitu juga Nico dari luar jendela.

Aku, dibodohi.

"Ya terserah, tapi gue mau pulang," kataku.

Teman-teman yang lain pun setuju, mereka keluar terlebih dahulu. Aku mengikuti mereka dari belakang.

"Ndre," aku mendengar bisikan di belakangku.

"Ada apa?"

"Maaf, aku gak bisa ngasih lebih." Ucap Tiara. Ia memberikanku sebuah kado kecil dengan wajah tertunduk dan langsung pergi melewatiku.

Itu mengingatkanku pada...

"Maaf, aku gak bisa ngasih lebih," kata wanita itu sambil menunduk.

Aku tidak bisa berkata apa-apa saat wanita itu menyodorkan sebuah kotak kecil dengan kedua tangannya. Aku seperti orang bodoh saja. Ayolah otak, pikirkan sesuatu untuk disampaikan, ayolah mulut, berbicaralah.

"A-a..." aku menelan ludah, lalu mengangkat kedua tanganku dengan gemetaran. Perlahan-lahan aku menggapai kotak itu.

"Terima kasih," ucapku saat kotak kecil itu berpindah tangan. Sudut bibir wanita itu terangkat, sangat manis. Membuat tubuhku semakin kaku.

"Gak dikasih juga gak apa-apa kok," lanjutku. Dia hanya menatapku bingung. "Habisnya kan, kamu udah nemenin aku hampir seharian,"

Dia tersenyum. Begitu pun aku. Kita seperti dua burung yang tidak ingin terbang, karena kita ingin tetap bersama. Wanita itu tidak segera melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Ia hanya menatapku dalam-dalam, tatapannya menusuk hatiku seolah ia memaksaku untuk berkata sesuatu. Ia... berharap.

Aku canggung. Entah kenapa, tidak biasanya.

"Terima kasih, ya," kataku lembut.

Ia hanya mengangguk. Perlahan tubuhku berbalik, dan perlahan juga aku melangkah. Angin malam seolah menamparku dengan dinginnya. Tapi aku tetap melangkah. Aku tidak tahu berkata apalagi. Tapi aku tetap melangkah.

Kududuki jok motor vegaku yang baru saja dicuci. Kunyalakan mesin motorku hingga ia mengerang.

"Sekali lagi, selamat ulang tahun ya, Ndre." Kata-kata itu kudengar saat motorku akan melaju. Aku memandanginya, di ujung matanya aku melihat setitik air mata yang ia tahan. Entah kenapa.

"Terima kasih juga, ya, Tiara." Lalu motorku membawaku menjauhi rumah wanita itu. Dari spionku, aku melihat ia tidak beranjak dari posisi berdirinya. Ia hanya diam, menatapku, yang semakin jauh meninggalkannya.

***

"Bodoh!!!"

"Jangan keras-keras Nic!"

Teriakan Nico membuat kami menjadi pusat perhatian oleh seluruh murid di kelasku. Untung saja bel masuk belum berbunyi.

Aku menarik Nico agar segera duduk disampingku. Nico saat ini sedang marah-marah. Entah kenapa ia seperti itu saat aku menceritakan kejadian semalam antara aku dan Tiara.

"Kenapa lo gak ngomong?!" Tanyanya dengan teriakan kecil di depan wajahku.

"Ngo-ngomong apaan?" Aku balik bertanya sambil menjauhkan wajahku darinya.

"Lo suka sama dia kan?"

Aku mengangguk.

"Lo sayang sama dia kan?"

Aku mengangguk lagi.

"Lo cinta sama dia kan?"

Aku kembali mengangguk.

"Harusnya tuh lo ngomong..." ia sedikit mengeraskan suaranya. "... 'lo mau gak jadi pacar gue?"

Sontak seluruh kelas menatap kami. Mereka menyangka Nico menembakku. Para cewek yang sedang membicarakan artis Korea langsung bisik-bisik, kuyakini mereka sedang berbicara tentang gosip kehomoan di sekolahku . Cowok-cowok langsung bersiulan. Gue pengen mati.

Tapi niat gue untungnya tak terjadi, karena beberapa detik setelahnya guru pun datang. Padahal bel  belum berbunyi.

"Pokoknya gue gak mau tahu, lo pulang sekolah ajak dia ke kafe favorit lo yang entah apa namanya. Lalu lo tembak dia disana." Kata Nico lagi.

"Ya, tapi, gue harus ngomong apa? Gue kan gak bisa gombal-gombal kaya yang lo suka lakuin." Balasku terbata-bata.

"Kalo lo gak bisa, yaudah gausah! Langsung aja to the point!" Nico sedikit menaikan suaranya. Sepertinya ia tidak tahu keadaan. Sekarang sedang ada guru! Dan sialnya guru itu menatap ke arah kami.

"Andre, Nico, baru saja saya masuk beberapa detik tapi kalian udah bikin keributan." Teriak guru itu dari depan kelas. Ia tidak berteriak sih, memang suaranya yang nyaring.

"Biarin aja bu, mereka lagi ritual LGBT!" Celetuk seorang laki-laki.

"Iya, bu, tadi Nico nembak Andre!" Sahut cewek yang duduk di pojok ruangan.

"Iya bu!"

"Iya bu!"

Sahut-sahutan 'iya bu' pun tercatat sebagai sahutan terbanyak dalam sepuluh detik di guiness book of record. Untungnya Bu Meila bisa menenangkan kegaduhan murid-murid yang udah bikin nyawaku berada di ujung tenggorokan. Namun, selama seharian itu aku dan Nico sudah di cap sebagai LGBT pertama di sekolahku.


Aku tersenyum. Bukan, bukan karena di cap LGBT. Tapi aku tersenyum saat menatap Tiara yang berlari kecil hingga membuat rambutnya bergoyang seirama dengan langkahnya. Aku berencana membukanya. Tapi lebih baik di rumah saja.

Kenangan, mereka tak akan pernah menghilang walau perasaan pemiliknya sudah tiada.

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang