Matahari yang terbit memotivasiku untuk cepat pergi ke sekolah. Aku memang kesiangan karena semalam susah tidur --efek minum kopi, terpaksa aku menarik gas motorku semaksimal mungkin agar tidak ketutupan gerbang oleh satpam. Menerobos macetnya Tanjungsari memang sudah biasa, ya walaupun tidak separah Jakarta. Jarak dari rumah ke sekolahku memang cukup dekat, sekita lima-
*Toot* suara klaskson Fuso memaksaku yang sedang menyalip untuk kembali ke jalurku agar tidak terjadi kecelakaan.
Jarak dari rumah ke sekolahku lima belas menit jika santai, tapi jika sedang seperti ini lima menit saja sudah cukup. Karena setelah masuk jalan raya aku hanya perlu lurus untuk sampai di sekolah yang kini berada di depanku.
Dan sangat disayangkan, aku terlambat. Bahkan yang lebih dulu dariku pun tidak diizinkan masuk. Berarti aku sudah terlalu terlambat.
Aku turun dari motorku, mendekati kumpulan anak yang kesiangan.
"Hey, Ndre, tumben kesiangan," seorang siswa berkacamata menyapaku.
"Susah tidur nih semalam, lo kenapa Zal?"
"Gue sih karena biasanya harus ke pasar dulu bantuin nyokap, dan tadi pagi barang yang harus dibawa banyak banget, ya gue akhirnya disini,"
Aku hanya manggut-manggut.
"Kampret tuh si cabul," tiba-tiba siswa berambut gondrong dan baju dikeluarkan. Aku pun menatapnya, dan beralih ke satpam.
"Masa kan gue datengnya barengan sama bel, eh dia ga ngebolehin masuk." Siswa itu melanjutkan omelannya.
Aku hanya mengangguk, mencoba mencari siapa yang salah. Tapi entalah, yang kuyakin hanyalah murid akan selalu salah.
Nama asli satpam sekolahku adalah Reynaldi. Dia ini sebenarnya orang yang baik. Kalau ngobrol dengannya, dia suka ngasih saran terutama buat yang sedang kasmaran. Ada satu hal yang membuat anak-anak sebal kepadanya, Satpam ini memiliki kategori untuk disebrangkan. Dia menyebrangkan seluruh siswa hanya pada saat sebelum masuk dan tiga puluh menit setelah pulang sekolah. Di luar jam itu ia hanya akan menyebrangkan guru, tamu, dan murid cewek. Dan jika murid cewek yang ia sebrangkan melebihi standarnya, maka ia akan memegang tangan cewek tersebut hingga sampai ke sebrang jalan. Modus. Padahal dia sudah punya istri.
Pernah suatu ketika ia menyebrangkan seorang murid cewek yang diatas standarnya, dan seperti biasa Ia memegang tangan murid cewek itu. Tanpa ia sadari pacarnya berjalan sedikit di belakangnya. Dan pacarnya itu tergolong famous student di sekolah ini. Semenjak itulah ia dijuluki 'Si Cabul'. Mungkin si cowok itu yang menyebarkannya.
Berbicara tentang menyebrangkan orang, itu mengingatkanku pada saat pertama kali berbicara dengan Tiara. Kenangan yang tidak mungkin bisa kulupakan.
Aku baru saja melewati gerbang smp-ku dan hendak membeli es jeruk langgananku. Saat akan berada di depan gerobak es jeruk, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Nico.
"Tuh, gebetan lo," ucap Nico sambil melemparkan dagunya ke arah seorang siswi yang berdiri dipinggir jalan.
"Gue gak punya gebetan keleus," sanggahku lalu menatap cewek yang Nico maksud. Nico hanya tersenyum.
Merasa tidak enak berbicara di depan gerobak es jeruk. Nico merangkulku menjauhi gerobak itu seraya membisikan sesuatu di telingaku.
"Sebrangin gih, hitung-hitung awal dari pdkt lo," bisiknya.
"Ahh, lo gila, kan ada yang sat-" aku menghentikan ucapanku saat sadar tidak ada satpam yang biasa menyebrangkan.
"Dia kan cuma kerja sampai jam tiga, sekarang aja hampir setengah lima,"
Aku mengangguk pelan.
"Lepasin Nic, keliatan kaya yang homo," gerutuku kepada Nico dengan maksud bercanda. Nico pun sadar dan melepaskan rangkulannya.
"Cepet sana, keburu nyebrang," pintanya lagi.
"Ahh, pokoknya gue gak mau," aku tetap menolak permintaannya.
"Kesempatan ga akan datang dua kali, Ndre, Kalau datang juga pasti belum tentu lebih baik dari ini," Nico tiba-tiba berubah menjadi Budha yang bijak.
"Sok bijak lo, pokoknya gue- eh, Nic, tunggu!" Nico mendorong-dorong diriku agar mendekati Tiara. Kemudian ia menjauh ke belakang dan memperhatikanku.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku punya firasat buruk tentang ini.
"Mau nyebrang? Ayo," ajakku yang gugup setengah mati.
"Eh-eng-tunggu!" Aku langsung menggenggam pergelangan tangannya dan memberikan isyarat untuk mobil agar berhenti sebelum menyebrang. Hingga kami sampai ke sebrang dengan selamat.
"Kamu apaan, sih?!" Ia bertanya dengan nada sedikit membentak. Sepertinya ia marah karena aku tiba-tiba memegang pergelangan tangannya.
"Aku mau bantu kamu nyebrang. Sekalian aku mau jajan disana," aku mencoba menenangkannya.
"Nyebrang palalu tuh nyebrang!" Lanjutnya, "gue tuh rumahnya ke arah sana, jadi ga perlu nyebrang, dodol!"
Hening seketika.
Sialan Nico, bisa-bisanya ia memerintahkanku melakukan hal yang membuat gebetanku marah. Aku canggung, tengsin, speechlees. Entah apa yang harus kukatakan padanya selain menatap matanya dengan tatapan memohon agar diberi kemudahan dalam melakukan pdkt selanjutnya. Ia membuang mukanya. Dan langsung menyebrang jalan setelah melihat kanan-kiri. Aku hanya bisa menatapnya cengo.
Apa aku harus ikut menyebrang juga dan meminta maaf? Atau harus menjalankan ucapan bohongku?
Aku pilih option kedua.
"Bu, beli minum satu," pintaku dengan tatapan kosong.
"Minum apa, Dek?"
"Apa aja deh bu,"
Ibu itu langsung memberikanku freshtea. Dingin di tanganku menyadarkanku, aku segera membayar uangku dan berjalan ke tepi jalan.
Untung Tiara sudah tidak ada. Jadi aku menyebrang tanpa perlu bertemu dengannya lagi. Aku melihat Nico yang berdiri memunggungiku. Dari tingkahnya, sepertinya ia tahu dan berpura-pura tidak tahu. Aku berhenti di belakangnya dan memukul botolku ke ubun-ubunnya.
*tok*
"Aww!"
Begitulah bunyinya. Nico mengerang dan berbalik ke arahku.
"Apaan sih?" Tanyanya sambil mengelus bekas pukulanku.
"Jangan pura-pura gak tahu, lo tadi lihat kan seberapa canggungnya gue waktu tahu sebenarnya Tiara gak nyebrang jalan."
"Enggak, gue... enggak denger, tuh," katanya, tapi mulutnya menyembunyikan tawanya.
Aku segera mengangkat botol minumku setinggi wajahku. Hal itu membuat Nico mengatakan yang sebenarnya.
"Iya, iya, gue denger. Jangan pukul-pukulan, bisa?" Akunya.
"Bisa kalau lo langsung ngomong yang jujur," kataku dengan nada kesal.
"I... ya maaf, gue juga kan ga tahu," wajah memelas Nico selalu membuatku luluh. Aku menghela napasku.
"Terus gue harus gimana?"
"Minta maaf aja deh, takut kesananya lo susah buat pdkt."
Aku mengangguk setuju.
Langkah kaki ringan serta goyangan di pundakku kembali membawaku ke masa kini.
"Tuh, siapa yang baru datang," Kata Faizal yang menggoyang-goyangkan pundakku.
Aku pun berbalik dan melirik ke arah murid tersebut.
"Tiara?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama
Teen FictionTentang aku, kamu, dan cerita yang tak akan pernah terjadi lagi. Amazing Cover By : @itsbee