Part 15

24 3 2
                                    

"She's the flowers, but she's also the rain. She's the beauty of the day, but also the night full of pain"

***

Perpustakaan kecil itu lengang, tidak ada suara apapun selain jam yang terus berbunyi tiap detiknya. Queisha menghembuskan napasnya pelan, tetap menunggu. Perempuan dihadapannya tetap menunjukan ekspresi datar sejak tadi, tidak menjawab.

"Rafaya" Queisha menyerah.

Rafaya tetap terdiam, memandang datar Queisha.

"Kenapa lo gak ngasih tau gue? Kenapa lo ngelakuin itu? Apa lo harus banget cutting? Lo kalo ada masalah tuh cerita, atau seenggaknya nangis. Bukan nyakitin diri lo sendiri" ucap Queisha pelan. Semenit berlalu Rafaya tetap menatap datar Queisha.

"Rafaya! Jawab!" seru Queisha, emosinya mulai tersurut.

"Lo mau gue jawab? Emang lo ngerti?" akhirnya Rafaya membuka mulut. "Dan lo udah ngelanggar privasi gue rupanya. Segabut itu kah lo?" sinis nya.

"Lo kenapa sih, Ya?" Queisha terlihat kesal. "Jelas gue bakal ngerti lah kalo lo jelasin. Yang gue bingungin dari lo tuh kenapa sih lo gak cerita aja kalo ada masalah? Atau seenggaknya lo kan bisa nangis! Gaperlu gitu!" tukas Queisha.

"Nah kan lo gak akan ngerti. Lo bakal nge judge gue dan lo bakalan ngehina apa yang gue lakuin karena emang lo gaakan pernah ngerti, Sha! Jadi untuk apa gue cerita ke lo? Akhirnya lo cuman akan ngeremehin gue, lo gaakan ngerti alasan gue!" seru Rafaya, merasakan air matanya yang selama ini ditahan mulai meleleh. Berbagai pikiran aneh mengusik dirinya, bagaimana jika Queisha akan membencinya? Akan menghina karena luka lukanya?

"Karena gue sahabat lo, Ya!! Karena kita udah sahabatan dari SMP kelas 1! Gue ceritain semua masalah gue ke lo! Tapi lo apa? Gue emang gaakan ngerti kalo bahkan lo gak cerita, Rafaya!!" seru Queisha setengah berteriak, kemudian ia bangkit. Merapihkan buku bukunya kemudian bergegas pergi. Meninggalkan Rafaya sendirian, bersama tangisannya.

***

Ervin berlari kecil mengitari sekolah yang sudah sepi itu, mencari seseorang dari segala arah. Rafaya. Tidak memedulikan hujan deras yang telah membasahkan seragamnya itu. Tidak memedulikan rasa perih yang semakin bertambah tiap detiknya pada wajahnya.

Tidak ada siapapun disekolah. Tidak ada Rafaya.

Ervin tetap mencarinya, dimanapun. Napasnya tersengal sengal, hujan yang tak kunjung berhenti tidak membuatnya berhenti. Sampai akhirnya sebuah tempat yang mungkin di kunjungi Rafaya itu terlintas di benaknya, taman.

Ia kembali menerobos hujan. Luka terbuka di bibirnya kembali mengeluarkan darah, membuat rasa perih semakin terasa.

Rafaya disana. Sedang duduk dikursi taman, menatap kosong hadapannya. Air hujan tidak dipikirkannya, bahkan ia tidak bergerak sedikitpun. Ervin mulai mendekatinya, kulit putih milik Rafaya berubah menjadi pucat, bibir merah miliknya pun juga berubah menjadi pucat. Bibirnya bergetar. Kedua tangannya bertemu di tengah pahanya. Ia bahkan masih mengenakan seragam, tanpa sweater ataupun hoodie miliknya. Seperti Ervin.

Ervin terdiam, ia masih berada di belakang Rafaya. Tidak tahu berbuat apa. Sampai akhirnya ia mendengar suara tangisan kecil. Tanpa berpikir barang kali sedetik pun Ervin langsung mendekap Rafaya dari belakang. Menaruh dagunya pada puncak kepala Rafaya.

"It's ok, Ra. You'll be fine. I promise" ucap Ervin semakin mendekap Rafaya erat. Bukannya mereda tangisan Rafaya semakin deras.

Selama beberapa menit mereka tetap bertahan pada posisi seperti itu. Rafaya yang duluan melepaskan dekapan itu, mesti tangisannya belum juga mereda.

THE ONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang