Ingatlah aku, walau kau tak cintai diriku
Ingatlah aku, bila kau ingin bersama-sama
Lalui senja di depan pagar itu
Kau ... ingatlah aku
*****
Pertanyaannya adalah, aku tidak tahu, apakah aku dapat menyelesaikan tulisan ini?
Panas. Perut terasa mual ingin muntah, rasanya seperti sesak napas. Perih ... ah, bahkan lebih sakit dari dugaanku. Seperti kulitmu disobek-sobek perlembar-lembar bagian dari tiap jaringan di dagingmu dengan cepat, seperti bor. Badan terasa sakit semua ketika punggungku berdebam menghantam tanah. Waktu seakan berjalan begitu lambat dan kepalaku pusing.
Aduh ... duh! Sakit! Sakit! Benar-benar sakit! Rasanya seperti ditabrak gajah. Bahkan aku malah belum tahu bagaimana rasanya itu? Yang jelas, sakit! Aku hanya meronta dalam keheningan yang tercipta sekian detik dalam kehidupan manusia. Orang-orang mulai panik, marah, berang, dan rasanya harapan mulai pergi dari mereka.
Dorr!!
"Ri-mba ...." Ia memanggil namaku pelan. Oke, itu sekian detik tadi. Kini ia mulai berteriak panik sembari meneriakkan namaku lebih keras daripada bisikan tadi. Orang-orang mulai memanggilku hampir secara bersamaan. Oke, rasanya sakit sekali seperti di bor, jatuh berdebam dengan badan yang tambah sakit. Aku merasakan sesuatu yang hangat seakan keluar dari tubuhku.
Baku tembak lagi. Dua tembakan, lalu aku mendengar dentingan logam beradu. Satu tembakan yang berbeda dengan bunyi yang agak lebih lama. Orang-orang mulai berteriak-teriak, mengumpat, menyumpah-serapah, bahkan menangis. Aku mulai bergerak perlahan, berjalan terhuyung, dan kemudian sukses bersinggungan dengan aspal yang menjadi saksi bahwa ia pernah menerima badanku. Aku tahu benturan itu benar-benar sakit.
Mataku sedikit remang-remang dan bayangan yang sedikit kabur, tetapi aku masih dapat mendengar cukup jelas. Suara kokangan senjata yang cukup berbeda dari senjata lainnya. Orang-orang masih panik. Kudengar Arjuna berteriak agar merunduk, kemudian tembakan kembali terjadi. Rusya masih terdengar terisak, namun napasnya memburu seakan ia ingin melepaskan semua amarahnya. Sejurus kemudian sebuah suara letusan senjata yang juga cukup berbeda dari lainnya membuat semua terdiam lebih tenang. Kokangan senjata dan tembakan lagi. Antara tembakan dan kokangan dengan bunyi teratur.
"Mati kau Du Luoyac bangsat!" Yah, itu suara Rusya yang memaki-maki dan setelah itu ia terdengar mendekatiku, sembari terisak penuh dengan kesedihan yang ... cukup dalam. Aku bahkan masih dapat menceritakan ini, hebat. Kurasa, ketika sekarat, seseorang bisa jauh lebih memikirkan banyak hal.
"Rimba!! Rimbaaa!" oke, dia menggoyang-goyang tubuhku yang lemas, sementara aku merasakan carian merembes di bekas aku tertembak. Darah mungkin. Ah, sepertinya ... entahlah. Aku bahkan masih memikirkan apa yang terjadi ketika ibu mendapati aku sudah dikirim dalam kantong mayat? Aku tahu pasti satu keluarga akan merasakan duka yang berat. Sebuah dilema ambang kematian bagi seorang anak tunggal. Kurasa sekarang aku mengharapkan kalau aku ingin punya adik. Terlambat kah?
"Evakuasi dia segera. Ada tandu?" seseorang terdengar sedang mengomando—dengan intonasi yang terdengar segera—yang lain. Dari suaranya kemungkinan besar Arjuna. Ada seseorang lagi yang menghampiriku. Ia juga memanggil dan sempat memaki karena aku terkena tembakan. Entah di mana. Entah bagaimana. Entah dari siapa. Yang kutahu dari Rusya, sepertinya Du Luoyac. Hebat sekali tua bangka itu. Aku pikir dia sudah mati ketika kutembak di ruang pertemauan.
Ah, aku sudah mencapai ambang batas. Entah aku harus apa sekarang?
"Rim-Rimba ... To-Tolong bertahanlah ...." Rusya yang terisak, masih mengguncang-guncang tubuhku. Aku tahu, mungkin dari semua orang di sini, gadis itu yang paling terpukul. Oke, sekarang badanku terasa melayang, hingga kemudian aku mengambang seperti ditaruh di sesuatu yang tipis. Ada kemungkinan aku kini ditandu. Perubahan cahaya terlihat lebih gelap. Aku masih bisa membuka mata, tetapi pandanganku makin mengabur. Astaga ... dimana kacamataku. Aku benar-benar tidak akan mengampuni bila sampai kehilangan kacamataku, yang baru. Itu hasil menabung selama empat bulan, sialan.
"Jangan tinggalkan Rusya ... tolong ...." Rusya terdengar menangis.
"He-hei ... sudahlah ...." Aku mencoba sebisaku menenangkannya.
"Rimba bertahanlah! Hei, kawan ayolah! Jangan mati, brengsek!"
Oke, jangan coba-coba mengomeliku sekarang, Septian. Apakah dia tidak bisa membedakan mana orang normal dan mana orang sekarat?
"Rusya nggak ingin sendiri! Rusya nggak ingin sendiri lagi! Tolong!" Rusya mulai merengek, kemudian tangisnya pecah. Aku tak sanggup melihat kesedihan di wajah Rusya.
Maaf ...
"Kau janji akan kembali kan waktu itu? Kau janji kita akan buat cerita dongeng lagi, kan? Kau janji akan belikan aku es krim lagi, kan? Kau janji akan mengajak aku ke toko buku lagi, kan? Kau janji—," rengek Rusya sembari terus memegangi tanganku.
Maaf ...
"Kau janji akan menikah denganku, kan?" Rusya merengek lagi.
Maaf ...
"Kau bisa menanganinya?" sahut Arjuna.
"He—Apa kau sudah sinting? Rusya semester berapa, kampret! Pikirkan juga kondisi perempuan ini, goblok!" Aku kenal suara menyebalkan yang menukas Arjuna. Hafizh. Tapi Arjuna memang sinting. Dia suruh Rusya untuk melakukan pembedahan. Parahnya, padaku? Kurasa aku tidak akan mati tenang. Suasana di dalam truk mulai riuh. Suara klontang dan gemerincing metal beradu. Kotak obat? Kotak alat bedah?
"Dapat darimana?" tanya Septian.
"Bajak dari ambulans," sahut Tiara cepat. Aku yakin mereka membajak ambulans untuk menangani Bayu.
"A-aku bisa dasar-dasar pembedahan ...," sahut Rusya.
"Ayo, jalan!" perintah seseorang. Samar-samar dari suaranya ... Itu Vido.
"Kemana?" tanya seseorang. Tidak kukenal. Sopir truk ini, mungkin?
"Ada morfin? Apa pun itu untuk mengurangi rasa sakit?" teriak Arjuna. Lalu suara tak karuan seperti orang mencari barang. Terdengar suara Tiara yang mengeluhkan sesuatu.
"Sisa untuk menangani Bayu!" sahut Tiara. Kondisi makin riuh.
"Kau sudah siap? Kami akan bantu ...," tanya Arjuna.
"Gyaak!!" Aku berteriak. Oke. Tusukan dan koyakan di lukaku itu sakit sekali.
"Protokol Lying Low, dude! Kau tidak baca bagian itu?" Sayup-sayup Vido terdengar kesal.
"Ada tiga tempat, anda harus pastikan sekarang!" protes si sopir. Dari cara dia bicara, kemungkinan Shadow Anonymous juga.
"Terserah kemana saja!" ujar Vido pasrah.
"DEMI TUHAN AKU TAK BISA MELAKUKANNYA!" Rusya mulai panik.
Oke, aku tak tahan lagi. Aku menyahut dan menggenggam erat tangan Rusya. Ini adalah sisa kekuatan terakhirku.
"La-ku-kan Sa-Ja!" ucapku sembari menatap Rusya.
"Kau ... ingin ... menikah ... dengan ... ku, kan? Lak-ku-kan ...."
Rusya terdiam dan mengangguk pelan. Mobil truk terbanting-banting melintasi jalanan ibu kota. Oke, aku tak kuat lagi. Aku hampir menyerah. Sepertinya rasanya kehabisan darah itu begini? Aku tak tahu. Pokoknya sakit.
Oke, aku tak ingat lagi. Gelap. Gelap. Hanya gelap.
"Rimba ...." seseorang memanggilku sebelum kegelapan menyergapku.
"Tunggu, Rimba! Tidak! Tolong!" Rusya panik. Entahlah, kemana selanjutnya cerita ini mengalir? Apakah aku bisa menceritakannya?
"Rimbaa!!" Rusya menjerit dan menangis sekeras mungkin. Perlahan ... kesadaranku menguap.
Gelap. Hening. Hitam total.
KAMU SEDANG MEMBACA
CIVITAS : ALEGORI SIMULACRA
Mystery / Thriller[PG 18+] [SEKUEL KETIGA DARI SERI CIVITAS] Terjebak dalam intrik dua kelompok persaudaraan kuno. Hari-hari mendadak dipenuhi pengkhianatan, ketamakan akan kekuasaan, serta kehancuran sebuah kelompok, memaksa Rimba Eka Putra terus dihadapkan pada...