CHAPTER 9

338 49 9
                                    

Kami terpaku pada dua kemungkinan yang sudah terarahkan. Pertama, Charles dan Anak Kuasanya telah sampai duluan di gedung Arsip Nasional dan mencuri data tersebut. Dua, broadcast Vido terlambat. Aku, Hafizh, dan Ammar, tanpa ragu bergerak untuk menemukan file multimedia itu. Bila isi data tersebut adalah kode untuk membuka kunci ponsel Vido, maka waktu kita semakin habis. Apa lagi, Charles mengetahui bahwa Marrisa adalah salah satu pemegang kunci ponsel sakti Vido.

Jelas kini mereka mengejar target berikutnya. Kami harus temukan data tersebut, sebelum Charles mendapat semua kuncinya. Paling tidak, kita bisa 'menikung' mereka ketika Charles Cs sedang ada dalam perjalanan menuju target. Dengan menumpang sebuah mobil curian—karena kondisi di Jakarta benar-benar dalam tahap panik—kami menuju ANRI. Arsip Nasional Republik Indonesia.

"Hoi, bertahun-tahun, akhirnya kita bisa melakukan sesuatu yang menyenangkan bersama lagi, eh?" sahut Hafizh memulai percakapan. Aku yang terduduk di kursi belakang. Ammar sedang menyetir, sementara Hafizh memerhatikan situasi, kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres, seperti para Anak Kuasa mengejar mereka.

"Ah ... kauingat waktu kita terkurung dua pekan di gedung rektorat?" responku balik. Hafizh terkekeh.

"Tidak ada yang bisa menggantikan pemicu adrenalin setegang itu, Rimba," jawabnya.

"Kaurindu dengan pertempuran? Kaurindu dengan sesuatu yang barbar, Fizh?" tanyaku.

Hafizh menghela napas, "Kita berjuang bebas dari opresi presiden kampret yang seenaknya itu. Dibayar dengan kita yang jadi buronan negara dan menghilang selama lima tahun. Bentrokan, suara letusan senjata, darah yang keluar ketika daging terkoyak peluru ... Bukankah itu sesuatu yang .. sangat disenangi para laki-laki. Sudah sewajarnya jantan sebagai spesies yang sangat agresif melakukan hal itu ...," ungkap Hafizh.

"Kurasa kalau kau menguasai negara ini, kau akan jadi pemimpin yang suka menghasut perang ...," cibirku. Hafizh hanya tertawa.

"Kau benar ...."

Mobil yang kami tumpangi berjalan di ruas jalan yang dihiasi dengan mobil terbakar, kaca-kaca pecah, serta pemandangan beberapa gedung yang terbakar. Orang-orang mulai dilanda kepanikan. Terakhir yang kami dengar, seluruh sistem penjara di Jakarta mengalami kegagalan. Banyak narapidana yang lepas dan kabur ke jalanan. Jakarta menjadi ladang pertempuran yang sempurna bagi para bromocorah, orang-orang barbar, atau anarkis haus darah. Ini mengingatkan tragedi pada Revolusi 2021, aku tidak percaya peristiwa itu kini terulang kembali.

"Hei, Rimba. Wanita yang kaunikahi dan memberimu seorang anak laki-laki, kenapa kaubisa mencintainya?" tanya Ammar. Aku terdiam sejenak.

"Yang pasti bagaimana watakku ini selalu bersimpati kepada siapa pun, termasuk perempuan. Mungkin dia salah satu yang terjerat dengan pesonaku," candaku.

"Aku serius, Rimba. Dia ada di pihak musuh, dia yang telah membunuh Vido, lalu berkhianat pada kita," sergah Ammar cepat.

"Entahlah. Dia terobsesi untuk mendapatkanku. Aku benar-benar tidak percaya Rusya melakukan hal seperti pembelotan. Aku mungkin masih menaruh kepercayaan, kalau ada suatu keajaiban ...." Aku menjawab, tetapi ditukas kembali oleh Ammar.

"Tidak ada keajaiban yang terjadi ketika seseorang yang kaupercaya, membunuh teman satu perjuangan mereka sendiri, Rimba. Mana yang kaupercaya, dia atau temanmu?"

Aku semakin dihadapkan pada pilihan yang sulit. Aku benci hal ini.

"Rimba, aku tidak peduli sesayang apa kau dengan dia. Namun, aku akan membunuhnya ketika ia berada di jangkauanku dan Ammar. Terserah kaumau melakukan apa. Bergerak melindunginya pun kau hanya akan jadi bulan-bulanan mereka, lalu kau juga dianggap pengkhianat ...," tambah Hafizh. Kepalaku semakin pusing mendengar penuturan Hafizh.

CIVITAS : ALEGORI SIMULACRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang