EPILOG

370 54 9
                                    


Gedung Bank Nasional Indonesia yang berada di Titik Nol Kota Yogyakarta, menjadi saksi bisu peristiwa terbunuhnya seorang iblis yang lahir dari seorang perempuan, yang bahkan diriku sebagai laki-laki yang telah bersamanya selama delapan tahun tidak mengetahui asal-usulnya. Dengan langkah gontai, aku menghampiri Presiden Karna.

"Pak Presiden ...." Aku mengulurkan tangan ke arah Presiden.

"Rimba, sepertinya kau yang harus mendapat perawatan ...," ujar Presiden Karna. Niatku yang ingin membantu Presiden, malah aku yang kini dipapah.

"Bodoh ... kau adalah orang nomor satu di negeri ini, Pak Presiden ...," cibirku.

"Kalau sebagai warga negara yang melindungi negara ini mati, siapa yang akan menjaga negara ini, nantinya? Toh, harusnya aku ini yang harus menjadi abdi negara. Mengabdi untuk negara," ujar Presiden. Aku terkekeh. Kami turun menuju tangga, ketika aku menemukan Septian sedang berdiri, bersandar pada pilar gedung.

"Kau masih hidup, brengsek!" teriakku seraya menahan tawa.

"Aku tidak mau mati jomblo, Rimba ...," gurau Septian. Praktis, kini aku malah dipapah oleh dua orang. Satu adalah seorang pemimpin negara ini, yang satu lagi adalah pelawak jomblo yang nyaris mati. Seolah-olah aku adalah orang yang lebih penting dari segalanya.

"Bagaimana dengan Arjuna?" tanyaku seraya menengok ke sekitar. Gedung itu benar-benar lowong.

"Dia sudah dievakuasi lebih dahulu. Dia selamat, tetapi harus membayar keselamatannya itu dengan tangan kanannya ...," ujar Septian. Kami menuju lorong lantai dasar gedung bank.

"Sudah selesai?" tanya Septian.

"Sudah selesai ...," sahutku.

"Anak yang kehilangan ibunya ... menyedihkan sekali." Septian menghela napas.

"Kupikir itu adalah pekerjaan terakhirku nanti. Aku juga harus membayar untuk kemenangan ini," ujarku.

"Delapan tahun, huh? Waktu yang sangat berharga, dihabiskan hanya berkutat pada rencana satu orang, ya?" ujar Septian merenungi hari ini.

"Rencana selama sembilan tahun kita jalani selama ini, itu adalah buatan Rusya. Komite Khas mengetahui potensi Rusya yang sangat pintar dalam hal mengarang sedetail itu." jelasku.

"Kau akhirnya tahu, seberapa bahayanya dia, huh?" sindir Septian. Aku terkekeh.

"Meski begitu, aku lebih suka kalau dia menjadi Rusya yang pernah kukenal sembilan tahun lalu."

"Yah ... kenyataannya, kau ditipu mentah-mentah, tercebur dalam permainan yang ia buat ...," cibir Septian.

"Mungkinkah, dia membuat itu untuk Komite Khas?" celetuk Karna berusaha ikut pembicaraan kami.

"Hmm ... kurasa tidak. Dia adalah orang yang sangat tertutup semasa hidupnya. Hanya kenal segelintir orang. Yang ia butuhkan sebenarnya ... adalah orang yang bisa dia ajak untuk ... selalu bersamanya." ujarku.

"Kau selalu berpikir positif, Rimba," sahut Septian.

"Septian. Kalau kau takut kejadian hari ini, apakah kau akan menjomblo seumur hidup?" tanyaku. Septian menepuk keras punggungku seraya tertawa.

"Hmm ... mungkin akan kucoba untuk mengejar gadis suatu saat!" sungut Septian.

"Hoy ... hoy ..., jangan lupa dengan usiamu, Pak!" timpalku. Begitu kami keluar dari gedung bank, kami langsung disambut oleh sepasukan Tentara Nasional yang menjemput kami. Seketika itu juga suara gemerasak yang berasal dari radio komunikasi mengganggu sedikit pendengaran. Rupanya pengacak sinyal sudah dimatikan. Masing-masing dari kami langsung dipapah. Aku diarahkan ke mobil kesehatan. Aku melihat Arjuna yang sudah terbaring di dekat sana, sedang menjalani perawatan.

"Yo!" sapanya.

"Kau belum mati?" tanyaku.

"Harusnya kutanyakan hal itu kepadamu, kau belum mati?" sahut Arjuna. Aku terkekeh.

"Bagaimana dengan tanganmu?" tanyaku seraya melirik tubuh Arjuna yang hampir remuk redam.

"Sepertinya yang kanan bakal dipasang tangan robot. Aku benar-benar tidak dapat memanah lagi, sekarang ...," timpalnya.

"Bagaimana dengan ponselnya?" tanyanya kemudian. Aku merogoh saku celanaku dan menunjukkan ponsel sakti yang menjadi biang kerok segala kekacauan ini.

"Sekarang, kita apakan?" tanyaku.

"Hancurkan," sahut Septian cepat, yang tiba-tiba sudah ada di belakangku bersama dengan Presiden Karna. Aku telonjak kaget. Sejenak, aku merenung untuk mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi, bila ponsel itu dihancurkan.

"Seorang bapak-bapak tua yang ada di layar televisi pernah berkata, kekuatan besar membutuhkan tanggung jawab yang besar. Aku tidak mau memegang benda yang merepotkan itu ...," sahut Arjuna.

"Apalagi aku," tambah Septian.

"Pun juga dengan aku," ujarku. Kami bertiga melirik ke arah Karna yang berada di samping Septian. Karna yang mengerti lirikan kami hanya menggelengkan kepala.

"Kalau itu membawa kehancuran bagi orang-orang yang hidup di bumi Indonesia ini ..., saya selaku Presiden negara ini memberikan perintah untuk menghancurkan benda itu," ujar Presiden. Kami bertiga mengangguk. Septian menyerahkan sepucuk pistol kepadaku. Kulempar ponsel pintar yang kugenggam ke aspal, lalu kutembak ponsel itu dua kali, sehingga menimbulkan dua lubang besar di ponsel itu.

Semuanya telah selesai.

"Hei, Rimba. Kau mau ke mana satelah ini?" tanya Septian.

Aku terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya aku menghela napas dan menjawab pertanyaan Septian.

"Aku ingin pulang."

*****

Perjalanan panjang yang berakhir pada malam itu membawaku kembali di hadapan pintu rumah yang sempat ditinggalkan. Safehouse masih dijaga dengan ketat, walaupun Shadow Anonymous sepertinya telah tidak lagi bertugas. Iya, kelompok bentukan Thomas Germain itu memudar, lalu perlahan bubar dengan sendirinya setelah ponsel pintar yang menjadi pusat komando mereka telah dihancurkan. Bagi mereka, misi mereka sudah selesai. Saatnya mereka kembali ke kehidupan lama mereka.

Begitu juga denganku.

Aku memegang gagang pintu, berharap tidak ada yang menyapaku. Aku harus memikirkan kata-kata apa yang akan kuucapkan di hadapan semua orang yang ada di balik pintu ini. Itu membuatku sedikit pusing di tengah perjalanan menuju safehouse. Aku perlahan membuka pintu.

Hanya satu orang yang menyambutku. Sepertinya yang lain sudah tidur. Iya. Satu orang. Seorang gadis kecil yang sedang membaca buku cerita. Ia dengan cepat menoleh ke arahku. Perlahan wajahnya tersenyum lebar, lalu gadis itu berlari ke arahku.

"Ayah!" teriaknya dengan kencang. Sebuah teriakan bahagia seorang anak perempuan yang menunggu keluarganya kembali dari medan pertempuran.

Sekilas aku teringat dengan kata-kata Thomas Germain, mengenai ceritanya yang bertemu dengan seorang gadis berusia enam tahun semasa dia muda. Gadis yang kelak akan menimbulkan sebuah kekacauan dan kehancuran besar, tercermin dari balik tatapan mata riangnya. Jauh tersembunyi di balik tatapan mata itu, terlintas suatu benak sebuah pemikiran mengerikan yang diperuntukan untuk dirinya sendiri. Anak kecil yang akan membuat permainannya sendiri menggunakan dunia yang sedih ini.

Aku berjongkok, menatap gadis kecil yang ada di depanku seraya mengelus rambutnya yang hitam dan lurus sebahu. Kutatap matanya perlahan, memastikan bahwa anak ini tidak akan membawa hal buruk yang sama dari ibunya. Kalaupun dia membawanya, membawa hal jahat seperti yang ditemukan Thomas Germain, aku akan mencari cara untuk mengusirnya.

"Ayah, ibu di mana?" tanya sang gadis kecil. Aku tersenyum masam. Mulutku mengatup rapat. Tatapan mataku menjadi sayu. Ingin rasanya kepala ini berpaling, tetapi seakan sebuah engsel pengganjal memaksaku untuk tetap menatap gadis kecil itu.

"Kenapa ayah kelihatan sedih?" tanya gadis kecil itu.

Saat itu aku melihatnya.

Sebuah harapan.

BUKU III

CIVITAS : ALEGORI SIMULACRA

- TAMAT -

CIVITAS : ALEGORI SIMULACRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang