CHAPTER 2

650 61 49
                                    


Wanita itu bernama Miriam Rosemary. 18 tahun. Mahasiswi antropologi salah satu universitas di Jawa Timur. Sejak kecil, ia memang telah dibesarkan di daerah yang dekat dengan alam. Ia telah mengetahui kalau ayahnya—seorang warga berdarah Perancis-Belanda yang berprofesi sebagai seorang botanis—telah mati setahun lalu karena diterkam buaya. Ibunya entah kemana, setelah diperkosa oleh seorang dukun santet setengah monster—tergantung dari mana kalian menerima perspektif logika dan urban legend masyarakat lokal—dan dijual entah di mana, serta entah kepada muncikari yang ke berapa.

Ia sendiri yang menghadapi kehidupannya di alam liar pedalaman-hutan di pegunungan selatan-Jawa-Timur, yang bukan merupakan pilihannya untuk melanjutkan hidup. Lima tahun lalu ketika Operasi Sapu dimulai, ia bertahan bersama teman-temannya selama lima belas hari, kemudian bersama orang misterius yang ia kenal dengan nama Quebec, mengajaknya untuk kabur ke pedalaman hutan di pegunungan selatan-Jawa-Timur. Ia, bersama sekitar lima puluh orang pelarian membentuk suatu perkampungan kecil, menjadi seorang Coureur Des Bois—istilah harfiah Bahasa Perancis yang berarti 'Seseorang yang berjalan di tengah hutan', sebutan untuk para penjelajah Perancis yang menjelajahi daerah New France dan Amerika Utara pada abad ke-17. Singkatnya, anak hutan—. Seorang Woodsman—atau girl—. Perkampungan tersebut secara teknis adalah kampung para pelarian. Mereka juga menerima orang-orang yang hendak pindah ke kampung terpencil itu.

Bukan suatu hal yang luar biasa—mengingat ada orang-orang yang cukup mengerti, bagaimana membentuk sebuah komunitas baru—dengan orang-orang pelarian sebagai anggota komunitas masyarakat tersebut. Karena suatu hal, pada suatu ketika, orang-orang di kampung pelarian—begitulah kiranya aku menyebutnya—menerima sebuah transmisi radio liar dari gelombang radio yang tidak dikenal, meminta untuk dijemput. Lalu dikirimlah satu tim yang dipimpin sendiri oleh Miriam untuk mencari asal transmisi radio liar tersebut. Ia akhirnya menemui sebuah truk penumpang yang berisi orang-orang pelarian dari Jakarta dan mengakui sebagai UFCA, yaitu rombongan yang membawaku—yang mana pada waktu itu, entah apakah aku berhasil selamat atau tidak—.

Singkat cerita 'perkampungan pelarian' tersebut menjadi sebuah desa yang cukup terisolasi dari dunia luar. Sebenarnya itu tidak dapat disebut sebagai perkampungan. Itu kamp semi-militer pemberontak negara, yang didesain sebagai pemukiman. Ada kira-kira belasan bangunan rumah berstruktur kayu, di mana ada satu rumah besar bertingkat dua yang tergabung bersama aula luas yang digunakan sebagai markas utama—di mana itu menjadi rumah bersama kami pada akhirnya—. Terdapat sekitar lima puluh lebih manusia yang membangun sebuah pemukiman baru di sana. Bahan seadanya, struktur bangunan yang mayoritas terbuat dari kayu. Orang-orang di sana tidak bisa disebut sebagai warga sipil, mengingat mereka adalah pelarian. Mereka adalah orang-orang yang dicap sebagai teroris di masa-masa itu.

Quebec, seperti yang diketahui, adalah seorang lingkar-dalam Shadow Anonymous, bersama beberapa anak buahnya mulai mengajari para pemuda yang kebanyakan mayoritas adalah akademisi, untuk belajar bertahan hidup di tengah konflik panas revolusi. Mereka memanfaatkan alam yang ada di sekitar mereka. Mereka membangun pembangkit listrik sendiri. Orang-orang dari SA pun mulai membuat pusat komando yang tersembunyi di balik kedok pemukiman tersebut.

Aku masih ingat ketika aku di bawa ke sebuah rumah, yang kutahu itu adalah sebuah tempat kesehatan. Kami dipandu oleh Miriam, lalu dengan segera, aku mendapat pertolongan dari seorang lelaki botak plontos yang kutahu itu adalah seorang bekas mantri tentara—iya, itu Lexington, yang ternyata selamat dari Operasi Sapu—. Kami cukup kekurangan peralatan medis yang memadai. Aku kekurangan banyak darah, sehingga Septian harus menyumbangkan darahnya—yang kebetulan bergolongan darah sama denganku—. Sepanjang operasi pengangkatan peluru yang menyakitkan itu, kecemasan selalu membebani Rusya. Paling tidak satu hal yang membuatku lega dari penasaran adalah, tentang Lexington yang kuketahui bernama kecil 'Saparno Lestusen' itu adalah seorang mantan mantri tentara, di sebuah barak di tapal batas luar perbatasan Indonesia dan Papua Nugini belasan tahun lalu.

CIVITAS : ALEGORI SIMULACRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang