29 Jam setelah kekacauan
Pemenang pertempuran kali ini, adalah siapa yang dapat menghabisi kelompok lawan terlebih dahulu. Sebuah pertempuran di kampung halaman sendiri. Lebih dapat dikatakan, ini adalah perang saudara. Saudara sekota, kalau boleh dikata. Permainan gila ini sudah dimulai sebelum fajar muncul dari horizon. Bahkan, asap ledakan yang membumbung tinggi, membuat fajar ketakutan dari balik horizon, ketakutan dengan pertumpahan darah yang terjadi.
Sejak kasus pembantaian eks-PKI dan eks-terduga PKI di daerah Jengkol, Kediri. Di mana darah mengaliri sawah dan padi menjadi berwarna merah menyala, belum ada pertempuran yang lebih berdarah dari peristiwa tersebut. Walau Revolusi 2021 terjadi secara menakutkan, wilayah yang menjadi pusat ibu kota karesidenan ini, belum pernah sama sekali tersentuh kekacauan dalam skala masif.
Hari ini, sejarah seperti di putar ulang. Para milisi pemberontak yang berambisi menguasai negara ini, melakukan serangan sporadis ke berbagai titik yang dianggap memicu untuk terjadinya perlawanan. Mereka mengurung orang-orang yang tidak bersalah di dalam kota mereka sendiri. Seperti kumbang yang terperangkap dalam kendi. Kalau ini adalah perang, maka ini adalah pertempuran besar. Seluruh faksi bertemu, saling menghabisi nyawa satu sama lain, demi kepentingan mereka masing-masing.
Ada yang berjuang demi mengamankan keamanan dan ketertiban masyarakat serta negara. Ada yang berjuang demi sebuah negara dengan cita-cita di bawah kekuasaan mereka. Ada pula yang berjuang—yang dimotori oleh segelintir pemuda-pemuda yang lolos dari cengkeraman maut—demi kedamaian umat manusia di muka bumi. Wilayah perbatasan yang sebagian besar terdiri dari perkebunan, persawahan, dan pemukiman penduduk desa menjadi ladang jagal setiap faksi.
Satu kilometer dari tempat tujuan kami, yang mana, pertempuran semakin memanas di beberapa titik di dekat safehouse. Apa yang ada di dalam sana, tidak lain tidak bukan adalah harta yang cukup berharga. Ada anak-anak dan keluarga terperangkap dalam sebuah rumah layaknya rumah di pedesaan Jawa, menunggu anggota keluarganya kembali, berharap mereka semua selamat dari kekacauan yang terjadi.
Apa pun yang terjadi, program perlindungan Shadow Anonymous tidak boleh jebol, sampai lalat-lalat ini selesai dibasmi. Sayangnya, perjalanan menuju titik yang telah ditentukan, hampir sulit untuk dilewati. Seolah sudah mengetahui rencana kami, Charles sengaja untuk menempatkan titik terbesar kepada safehouse. Ia tahu kami menyembunyikan kunci aktivasi ponsel sakti itu, pada seseorang yang ikut berlindung di safehouse. Secepat-cepatnya kami melakukan persiapan, Charles selalu tahu langkah kami. Selama ponsel itu masih di tangannya, ia dapat menyadap saluran komunikasi dan radar dalam radius yang cukup besar. Kami sempat memasang pengacak sinyal sebanyak dua kali di dua titik yang berbeda, tetapi pengacak sinyal tersebut dapat dilumpuhkan.
Ini seperti bermain dengan seorang cheater. Ketika kau tidak bisa melihat seluruh peta pertempuran, sementara musuhmu mengetahui seluruh medan pertempuran. Setidaknya itu kondisi yang kami hadapi. Sebanyak apa pun kami, bila mereka tahu gerak-gerik kami, selesai sudah.
"Hentikanlah pertempuran konyol ini. Kita kembali ke rumah. Anakmu sudah menunggu." Aku berusaha mungkin melakukan persuasi—sekali pun ini adalah satu hal tolol—sehingga Arjuna mendapat waktu untuk memikirkan rencana lain.
"Kau memang benar-benar keras kepala, Rimba. Kau selalu melakukan semaumu sendiri ...," jawab Rusya di seberang komunikasi.
Aku tahu, kini ia tengah santainya membidik kami dari jarak kurang lebih delapan ratus meter, menggunakan senapan runduk Intervention m-200, dengan thermal vision. Kami tamat. Benar-benar tamat.
"Apa kita bisa tentukan koordinat tempat dia menembak?" Samar-samar di belakangku, Arjuna sedang berdiskusi dengan Septian, menowel bahuku.
"Mau apa kau?" tanyaku heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
CIVITAS : ALEGORI SIMULACRA
Mystery / Thriller[PG 18+] [SEKUEL KETIGA DARI SERI CIVITAS] Terjebak dalam intrik dua kelompok persaudaraan kuno. Hari-hari mendadak dipenuhi pengkhianatan, ketamakan akan kekuasaan, serta kehancuran sebuah kelompok, memaksa Rimba Eka Putra terus dihadapkan pada...