RENATA:
Aku terjaga karena merasakan dingin menjalar di ujung jari-jari kakiku. Pendingin ruangan ini hampir saja membunuhku. Aku lupa mematikannya semalam karena terlalu mengantuk. Untung saja kakiku tidak kram jika saja terlambat terbangun.
Beranjak dari ranjang aku mencoba mengingat kejadian semalam. Menyanyi bersama Marcell, berdekatan di jarak yang sangat dekat dengannya, kehadiran Shelina yang barbar, kenyataan bahwa Marcell adalah teman sekolah Marcell yang aku yakini memiliki hubungan yang tak biasa, lalu terakhir pelukan Marcell yang menenangkan saat perasaanku gusar karena permasalahan Enrique. Rasanya semua berlalu begitu cepat. Membuat hidupku yang dulunya damai, serasa terusik dengan kehadiran mereka semua.
Malas-malasan aku melangkah keluar kamar. Langkahku sedikit limbung, kepalaku masih terasa nyeri. Pintu kamar kubuka lebar, berharap semua yang terjadi adalah mimpi semata dan hari ini aku beraktivitas seperti biasa. Namun, apa lagi ini? Bagaimana pria yang ada di pikiranku saat baru terjaga tadi, saat ini sudah berada di dalam unit apartemenku.
"Sejak kapan kamu berada di sini Marcell?" tanyaku ketus, tapi aku tidak bisa menghilangkan suara serak khas orang baru bangun tidur.
"Selamat pagi Rena..." jawab Marcell tanpa menoleh sedikitpun padaku. Aku melangkah ke arah Marcell dan menyegarkan tenggorokanku dengan segelas air putih, kebiasaanku saat bangun tidur supaya suaraku kembali normal.
"Bagaimana cara kamu bisa masuk ke unit apartemen ini?"tanyaku ,lagi. Kali ini lebih serius.
"Kamu duduk saja di meja makan. Aku sedang membuatkan sarapan untuk kita."
Marcell menoleh sekilas dan tersenyum padaku. Sial! Mengapa dia begitu tampan pagi ini? Kadang membuatku berpikir, apa benar ini Marcell yang dulu pernah aku kenal. Wajahnya, apalagi postur tubuhnya sama sekali berubah. Oh, God! Aku sampai lupa kalau sedang mencurigai dia yang bisa masuk begitu saja ke unit apartemen Enrique.
"Jawab dulu pertanyaanku!"
"Enrique datang ke sini semalam. Kami bertemu dan mengobrol sebentar. Dia memberiku keycard unit apartemennya sekaligus menitipkan kamu padaku," jawab Marcell santai.
"Enak aja! Emangnya aku barang main dititip-titipkan begitu aja?!"
"Aku sih nggak keberatan, asal kamu bersikap manis padaku, pasti aku akan menjagamu dengan sangat baik." Dia rtersenyum simpul di akhir ucapannya. Lama-lama aku diabetes ini kalau sering-sering disuguhin senyum manis milik Marcell ini.
"Cih! Nggak sudi aku."
"C'mon, Rena! Apa susahnya sih baik-baikin aku?"
"Terserah kamu sajalah. You are my CEO. Dahlah, aku mau mandi dulu. Supaya tidak terlambat sampai ke kantor dan mendapat punishment dari sang big boss."
"Shut up Renata!"
Aku tidak peduli dengan omelan Marcell dan menyegerakan diri memasuki kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari dapur.
"Jadi selama ini kamu tidur di kamar tamu, dan juga menggunakan kamar mandi luar?" tanya Marcell sebelum aku menutup pintu kamar mandi.
"Tentu saja. Syukur-syukur si Enrique itu bersedia minjemin apartemennya buat aku tinggalin. Aku nggak mau dibilang ngelunjak," jawabku sekenanya sambil membuka pintu kamar mandi berwarna cream di hadapanku dan segera menutup sekaligus menguncinya.
Keluar dari kamar mandi aku mencium aroma nikmat yang membuat cacing-cacing di perutku berdemo. Aku memutuskan untuk menikmati sarapan yang sudah tersaji di meja makan. Yakin saja pasti Marcell yang menyiapkannya untukku. Setelah menyuapkan beberapa sendok nasi goreng ke mulutku, tiba-tiba aku disajikan pemandangan yang membuat kegiatan makanku terhenti sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I Love My CEO
Fiksi UmumSiapa bilang cinta monyet tidak bisa menjelma menjadi cinta sejati? Buktinya cinta Marcell Anggara pada seorang gadis dari masa putih biru, masih tetap setia mengisi ruang terindah di hatinya. Kalau ditanya kenapa dia terlalu cinta, jawabnya simple...