Park Jiyeon tertegun mengamati jam kecil yang melingkar dipergelangan tangannya. Sebentar lagi waktu menunjukkan tengah malam tapi ia masih berkeliaran dijalan Baker, London tanpa menemukan penginapan satupun yang kosong.
Di London brigde tak ada lagi kendaraan yang melaju. Jembatan itu benar-benar lenggang nyaris tak ada pejalan kaki satupun kecuali dirinya. Dengan malas ia meneruskan langkah sembari menarik koper hitam berbahan nilon sesekali menyeruput minuman bersoda yang sudah tidak dingin lagi.
"Tak akan ada pernikahan apapun" Kalimat itu merupakan kutukan yang sudah ia rapalkan untuk menghindari kesialan yang terus-terusan menimpanya. Sebenarnya, ia sudah tidak mau lagi mengingat apapun terkait tentang pernikahan, namun kalimat itu tetap terlontar begitu saja sepanjang perjalanan.
Park Jiyeon memuntir paper cup sebelum membuangnya ke dalam tong sampah dengan kasar. Ia menengadah membiarkan pandangannya berkutat pada kumpulan awan hitam yang menutupi sebagian bulan purnama. Rasa jenuh membalut ruang hatinya tanpa sadar ia memberengut.
"Bangsat" Jiyeon tidak bermaksud mengucapkannya keras-keras ataupun berusaha menarik perhatian warga. Gadis itu mencengkeram sisi pagar jembatan kemudian mengeluarkan sumpah serapah kepada sekumpulan orang brengsek yang berhasil menghancurkan hidupnya.
Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah perkotaan yang semakin sepi. Lari dari rumah dan terjebak dalam kondisi buruk bukanlah pilihan. Ia datang kemari bukan untuk berwisata atau semacamnya melainkan untuk sembunyi jauh dari jangkauan seseorang.
Dimana ia bisa menemukan tempat untuk memutar waktu? Kali ini ia bersungguh-sungguh menginginkan kembali ke masa lalu. Mencegah setiap bulir masalah yang tumbuh menjadi malapetaka hingga berakhir pada kekacauan.
Park Jiyeon tertawa seraya mengusap pelupuk matanya yang telah basah. Apa yang bisa ia harapkan dari seorang pengusaha sombong tak berpendidikan yang berani mengajukan pernikahan sebagai syarat ganti rugi atas kecerobohan ayahnya? Sial! Apa gunanya memikirkan bajingan itu lagi?
Jiyeon menghirup udara dalam-dalam berusaha menenangkan pikiran dan hatinya. Ia mengeryitkan dahi ketika menyadari sebuah taksi berhenti tepat didepan gedung tinggi yang berdiri kokoh diantara pertokoan. Matanya menyipit mengamati kilau perak papan nama yang terpasang diatas pintu masuk.
Gadis itu berjalan menuju gedung tersebut dengan harapan mendapatkan sebuah kamar kosong khusus untuknya tanpa memperdulikan kakinya yang tergores akibat high heels setinggi lima centi.
"Selamat malam nona. Selamat datang di Great Golden Hotel. Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu menyapa dengan begitu sopan kemudian dengan senyuman ramah ia berkata, "Apa anda sudah memesan kamar sebelumnya?"
Jiyeon menggigit bibir bagian bawahnya. "Apakah masih ada kamar yang kosong?" Tanya Jiyeon dengan harap-harap cemas.
"Maafkan kami nona, kamar terakhir baru saja dipesan" ujarnya dengan wajah penuh penyesalan. Jiyeon mendesah berat. Lututnya tiba-tiba saja melemas tanpa sadar ia pun berjongkok sembari membenamkan wajahnya.
"Eomma kenapa semua ini harus menimpaku? Aku sudah lelah. Kakiku seperti ingin lepas hiks..." Dia merengek seperti anak kecil dengan bahasa korea. Adegan itu menarik perhatian seseorang yang berdiri disampingnya. Langkah suaranya begitu elegan dan dalam persis seperti kepingan film luar negeri. Menyadari hal itu sontak dia menengadahkan kepala ke atas.
Pria itu memakai jaket bomber hitam selaras dengan warna tas ransel dipunggungnya. Masker biru hanya setengah menampakkan wajahnya namun tidak sepenuhnya menyembunyikan kenyataan bahwa hidung mancungnya itu sangat tegas. Mata biru pucat sehingga nyaris bening itu menatapnya. "Kau butuh tempat tinggal?" Suara baritonnya begitu dalam terdengar sangat percaya diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scent of A Woman
FanfictionJiyeon hanya ingin melarikan diri dari perjodohan itu namun ia tidak mengira bahwa takdir justru mempertemukannya dengan calon suaminya.