Part 1 - Juna & Shinta

2.2K 40 5
                                    

Part selanjutnya ada adegan 18+, jadi mohon ditanggapi dengan bijak :)

Juna Prov

Sial..!" umpatku, berkas-berkas di atas meja pun tak luput dari kemarahanku. Semuanya tercecer disetiap sudut ruangan. Mungkin aku harus memeriksakan diri ke psikiater karena tiap kali dihadapkan pada suatu masalah emosiku langsung meningkat drastis.

Seperti yang terjadi hari ini, semenjak Atmadja mengalihkan semua kewenangan di salah satu perusahaannya cukup sukses membuatku jungkir balik. Maklum, sebagai anak sulung selalu identik dengan sifat manjanya, jadi susah sedikit langsung panik.

Baru dua bulan menjabat sebagai CEO Hotel Pandawa sistem manajemennya kacau balau. Mulai dari financial, administrasi, sampai marketing tidak berjalan sebagaimana mestinya. Apakah aku sebodoh ini? Shitt..!

Sebaliknya, Atmadja justru sangat santai melihatku pusing tujuh keliling. Tanpa rasa berdosa ia berkotbah bahwa sudah saatnya aku belajar mandiri tanpa campur tangan orang tua karena sebagai laki-laki sudah pasti memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kehidupanku kelak.

"Ingat! Juna, seterpuruk apapun kehidupan kamu dan perusahaan yang kamu pimpin sekarang, papa dan mama tidak akan pernah ikut campur, karena semuanya sudah sepenuhnya tanggung jawab kamu!",

Pesan yang sangat mengharukan dan juga mengenaskan, khususnya untukku. Jika disuruh memilih lebih baik aku tetap menjadi anak mereka yang lucu dan imut daripada harus tumbuh dewasa.

Aku lahir dari pasangan Hartadi Atmadja dan Paramesti sebagai anak bontot mereka. Anton Hartadi Atmadja, kakak pertamaku sukses menjalankan bisnis restoran di Singapura dan tentunya sudah berkembang biak-berumah tangga. Yuni Hartadi Atmadja, berhasil menggeluti bisnis fashionnya di Paris dan menetap disana. Sedangkan aku, Juna Hartadi Atmadja dan kakaku yang ketiga, Juno Hartadi Atmadja tergolong anak yang berbakti, menurut mereka, karena dengan senang hati memilih stay di Indonesia demi bisnis keluarga yang sudah dirintisnya puluhan tahun yang lalu.

Belum lagi satu masalah terselesaikan, pikiranku kembali dikejutkan oleh kehadiran sosok gadis yang sempat membuatku naik darah.

Bertepatan dengan hari pertama masuk sekolah. Kebetulan malamnya aku menginap di rumah Juno dan paginya mendapat tugas mengantarkan Amel ke Tunas Pertiwi Elementary School. Amel, anak dari Juno dan Maya, saat ini duduk di kelas III.

"Juna, hari bisa minta tolong anterin Amel sekolah, semuanya sedang sibuk.. hanya kamu satu-satunya harapan kakak.. plisss", pinta Juno mengiba.

"Ya.. ampun kak, kalau nganter Amel jalan-jalan Juna siap.. tapi kalo ke sekolah... aduuhh kak, sama baby sister giihh...," jawabku dengan malas.

"Ehh.. dasar lu ya, sama keponakan sendiri kagak SAYANG.. ini kan hari pertama sekolah setelah libur panjang yang nganter harus orang tua ATAU anggota keluarga, ntar lagi lo juga bakalan NGRASAIN, jadi anggep aja kali ini lo sedang latihan.. ," balas Juno yang sengaja menekankan beberapa kata dan langsung menggiring Amel ke hadapannya.

"iyee..iyee..., satu hal yang perlu kakak tahu ya, Juna masih ingin bebas sebebas-bebasnya, memangnya kakak... kemana-mana diikutin mulu,.." ledekku yang terus berlalu dengan menggandeng tangan Amel, sempet kudengar Maya berdehem keras, pertanda kalau percakapan kami terekam jelas olehnya.

Amel begitu girang ketika mengetahui aku akan mengantarkannya ke sekolah, karena jarang-jarang aku mau melakukan hal konyol itu karena sudah ada baby sister yang siap selalu.

Setibanya disekolah, sedikit kubenahi penampilanku untuk memastikan kegantenganku sudah maksimal. Lalu kuraih tangan kiri Amel dan kami pun melangkah dengan pasti ala David Becham ketika menggandeng Harper Seven.

Ehh... baru beberapa langkah kecelakaan kecil pun terjadi.

"Brukkk....!!", aku terpental mundur ketika seorang gadis itu terburu-buru memasuki pagar sekolah.

"Maafkan saya Pak, saya tidak sengaja", ucapnya sambil berlalu. Aku sempat terhuyung dan langsung melihat keadaan Amel, untung saja ia tidak ikut terjatuh. Jika sampai itu terjadi, habislah dimutilasi si Juno.

"Sialan!! matanya taruh mana sih!!" umpatku sambil mengibaskan celanaku yang menyenggol pagar sekolah. Amel yang sedari tadi memperhatikanku hanya tersenyum dan menatapku tajam.

"Nggak boleh berkata kasar Uncle.." ucap Amel dengan menaikkan kedua alisnya. Niatnya memarahiku tapi ekspresinya bikin gemes, langsung kucubit lembut kedua pipi tembemnya.

"Euh, maafin Uncle ya.." balasku sedikit salting, lupa kalau sedang bersamanya. Kebiasaan buruk yang tak kunjung sembuh, selalu melontarkan kata-kata kasar ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan.

Shinta Prov

"Dasar, laki-laki nggak punya mata, kagak lihat apa lagi buru-buru, mana hari pertama ke sekolah," aku ngedumel sambil membetulkan posisi rok yang sempat geser karena insiden tadi pagi.

Udara pagi ini benar-benar menyejukkan dan yang membuatku terpesona adalah keindahan pemandangan taman sekolah yang tertata apik disetiap depan kelasnya.

"Pantas saja, sekolah disini bayarnya mahal, fasilitas yang begitu mewah dan lengkap sebagai kompensasinya, tentu saja mengajar disini sangatlah menyenangkan", gumanku tersipu.

Langkah kaki membawaku ke ruangan kepala sekolah untuk menyerahkan berkas-berkas sebagai arsip administrasi.

Aku, Shinta Rahardja, anak tunggal lahir dari pasangan Rahardja dengan Ambalika. Menjadi seorang guru adalah impianku sejak kecil, karena aku sangat menyukai dunia anak-anak dan kelak setelah sukses bisa mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak yang kurang beruntung.

Meskipun kedua orang tuaku termasuk orang yang berada, lantas tak membuatku bergantung kepadanya. Sejak kecil mereka mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang bertanggun jawab dan tidak gampang menyerah.

Meskipun demikian, tak jarang juga aku menangis ketika menghadapi masalah. Menurutku menangis bukanlah sifat cengeng, tapi lebih pada pelampiasan sebuah rasa, entah itu sedih ataupun bahagia.

Tahun ini, Dewi Fortuna berpihak padaku. Selesai makan siang ponselku bergetar dan kulihat nomer asing yang tertera di layar. Karena penasaran langsung kuangkat dan terdengar suara berat diseberang sana yang membuatku sedikit berjingkrak.

Kepala bagian administrasi Tunas Pertiwi Elementary School mengabariku kalau besok diminta untuk menghadap kepala sekolah. Girangnya bukan main, mendapat kesempatan magang di sekolah bonafit.

Keesokan harinya, sambil berdendang kulangkahkan kaki menuju gerbang sekolah, bersamaan dengan langkah-langkah kecil anak-anak yang saling berebut masuk dengan tak sabar.

Kutarik tangan kiriku dan melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.50 WIB, tanpa dikomando aku langsung tancap gas.

Prinsipku, kesan pertama adalah penentu dan aku tidak mau kepala sekolah mengecapku sebagai guru malas karena pertama masuk sudah terlambat.

Meskipun sekolah elit para guru tidak bisa semena-mena ketika mengajar, berbagai peraturan sudah bertengger dimading ruang guru dengan maksud agar selalu ditaati oleh penghuni kantor, termasuk Kepala Sekolah.

Langkahku terhenti, tepatnya hampir terjungkal ketika sosok pria menabrakku dari arah berlawanan. Sontak membuatku kaget, ingin rasanya kuhujani makian tapi lidahku kelu setelah melihatnya.

Deg..!

Sepintas mataku beradu dengan mata coklatnya. Rasanya seperti ada blink-blink dimatanya, yang membuatku enggan berpaling. Tapi dengan segera kutepis dan langsung menyibukkan diri dengan amplopku yang terjatuh.

Shinta bangun...! otakku memberikan peringatan.

"Maafkan saya Pak, saya tidak sengaja", ucapku sambil berlalu, dianya tak sama sekali tak merespon tapi malah sibuk dengan jeans-nya yang sedikit kotor karena menyenggol pagar.

Beberapa menit setelah tersadar dari pesonanya, aku mengumpat dalam hati, "kenapa harus gue yang minta maaf, dia kan yang salah harusnya dia donk yang minta maaf, sejak kapan lo mengalah siihh!! Bego lo kapan sembuh Shintaa..!", dengan sedikit memukul kepalaku pelan sebagai punishment karena perbuatanku yang memalukan.

trims yang udah baca, vote & comment ya...

Stay With Me...(Triangle Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang