Yuna pov
Sekarang, aku, tidak. Kami sudah kelas tiga. Sebentar lagi kami lepas dari beban pelajaran materi dasar. Hari-hari yang kami lalui adalah hal yang berharga. Sayang jika kami saling melupakannya. Tapi, bagaimana kalau ternyata kami dipaksa untuk melupakannya?
Di dalam kelas, hanya tinggal aku seorang. Bel pulang sudah berdering dari tadi. Hari juga sudah semakin gelap. Entah kenapa aku masih ingin di dalam kelas ini.
Dari meja ku, yang bisa ku lihat tajam ke depan hanyalah papan tulis yang sekarang tengah kosong. Sama seperti pikiran ku yang bahkan aku sendiri tak tahu apa isinya. Lama kemudian, aku mendengar suara langkah sepatu. Semakin dekat dan tepat berada di ambang pintu kelas ini.
"Yuna, kau belum pulang?" Ternyata Sui. Aku memandangnya dengan wajah datar. Dia sudah ganti baju.
"Kenapa kau tak pulang Yuna?" Kaki Sui melenggang masuk mendekati ku. Kemudia kami duduk sejajar.
"Yuna, kau tak menjawab ku." Dengus Sui.
"Hm, maaf. Aku hanya sedang..." Ku rendahkan pandangan.
"Memikirkan sesuatu? Ujian masih lama Yuna." Sela Sui.
"Aku tak memikirkan tentang ujian." Jawab ku.
"Lalu, kau memikirkan apa?" Dengan tangan terlipat di atas meja, Sui menyandarkan kepalanya di sana.
"Aku," Kata-kata ku sedikit menggantung. Lidah ku terasa kelu. Serasa tenggelam dalam kesedihan yang amat dalam. Tapi aku tak tahu.
"Aku juga tidak tahu. Seperti ada yang mengganggu pikiran ku. Tapi, aku juga tidak tahu." Jelas ku pada Sui. Dia terlihat sedikit kebingungan. Mengangguk-anggukkan kepala, Sui mencoba menebak isi kepala ku.
"Mungkin kau terlalu berlebihan memikirkan tentang ujian." Selama apa pun Sui berfikir, pikirannya akan buntu pada satu objek yang benar-benar dia percayai.
"Sui, aku tak apa. Aku hanya ingin di sini lebih lama."
"Matahari hampir tenggelam. Kau mau apa di sini? Pintu gerbang sekolah juga akan segera di tutup. Pulanglah dengan ku." Ajak Sui.
Ku edarkan pandangan ke arah luar jendela. Sekarang, dari sini aku bisa melihat matahari yang hampir kehilangan cahayanya. Senja memangsangat memanjakan mata. Dan senja, selalu mengingatkan ku akan kejadian waktu itu.
Kira-kira, waktu aku kelas satu. Saat pulang dari ekstrakurikuler tak ada kendaraan yang bisa ku naiki sampai rumah. Matahari juga hampir tenggelam. Aku pulang dengan jalan kaki, dan sendirian.
Di salah satu gang yang ada, aku di hadang oleh sekelompok preman. Kalau tidak salah mereka masih SMA. Tapi tetap saja menyeramkan.
Aku tak terluka. Secara, karena Shinwoo dan Ikhan datang. Shinwoo berkelahi melawan gerombolan preman SMA itu sendirian. Satu lawan empat. Dan hasilnya, Shinwoo yang menang.
Itu satu kali. Kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Shinwoo selalu ada saat aku membutuhkannya. Itulah yang membuat ku jatuh hati padanya. Aku selalu menyembunyikan perasaan ini. Karena aku takut, kalau-kalau Shinwoo ternyata tak menyukai ku, dan lebih memilih orang lain.
"Yuna? Kau kenapa melamun menatap jendela?"
"Sui," Panggil ku lirih.
"Hm? Ada apa?"
"Apa kau pernah jatuh cinta?" Mata ku tak hentinya menatap ke arah sang surya. Masa-masa indah itu menjajah pikiran ku tanpa ampun.
"Eh-heh? Jatuh cinta? Hm, entah ya. Ku rasa tak pernah. Memangnya kenapa? Kau sedang jatuh cinta ya?" Ku rendahkan pandangan ku sekilas. Ku beri senyum tipis pada Sui.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Friend For My Friend (Fanfic Noblesse)
FanfictionAku mencintai mu. Tapi dia, Cintanya lebih besar dari cinta ku pada mu. ~