Beberapa penumpang bus turun secara bersamaan di sebuah halte yang berada di pusat kota. Begitu juga dengan Adit dan Nao.
Mereka berjalan beriringan menjauhi halte, menuju pasar loak yang berjarak beberapa meter dari halte tadi. Seperti yang tadi Nao bilang, ia ingin membeli beberapa celana training bekas, biasanya gadis itu memang membelinya untuk dipakai berolahraga atau untuk celana santainya saat di rumah.
"Kenapa lo ga beli yang baru aja? Ada juga yang murah, kok" Adit memasukkan tangannya ke saku celana sambil menyipitkan matanya, menghalau sinar matahari sore yang cukup menyengat hari ini.
"Yang bekas lebih murah. Lagian sama aja, ujung-ujungnya gue pake"
"Ga risih apa?"Nao menoleh dan mengedikkan bahunya. Ia mengedarkan pandangannya ke area pasar loak ini. Tidak terlalu ramai, suasana yang gadis itu suka. Tanpa banyak berbicara, ia melangkahkan kakinya pada salah satu kios dengan plang toko yang warnanya agak sedikit pudar. Adit ikut masuk ke kios itu, tanpa mengalihkan sedikitpun matanya dari pakaian-pakaian yang digantung disetiap sudut ruangan yang cukup lebar ini.
"Tulang! Aku cari training yang waktu itu ku bilang. Ada tak?" Adit melebarkan matanya saat indera pendengarannya -yang ia jamin masih berfungsi dengan benar- menangkap logat aneh dari cewek didepannya ini.
"Ada ada. Tak mungkinlah aku lupa pesanan kau, dek. Sini lah kau, jangan dekat-dekat kali sama pacar kau itu. Macam prangko saja kelien"
Nao terkekeh. Ia membalikkan tubuhnya dan bersitatap dengan wajah heran Adit. Nao makin melebarkan senyumnya dan menepuk-tepuk pundak cowok yang lebih tinggi beberapa centi darinya itu,
"Sabar ya, sob. Jamin deh ini yang terakhir kalinya lo denger logat gue!"
Adit hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia terduduk di salah satu kursi plastik di toko itu sambil terus memperhatikan gadis yang masih asyik berbincang sambil bernegosiasi tentang training biru donker yang dipegang si pedagang. Adit yakin, abang-abang itu suku Batak.
Dari gaya bicaranya, logatnya, intonasinya saat berkata-kata, dan yang paling menonjol adalah wajah pedagang itu.Tapi, Nao? Si kalajengking itu orang Batak? Masa iya? Muka manis kalem gitu?
Eh apa?
Manis kalem?
Wah, Dit..
Tebakan lo emang bener.
•••••••••••••
"Bukan. Gue emang kalo belanja baju bekas selalu disana. Tiap gue denger dia ngomong begitu, gue suka. Jadi gue tanpa sadar ngikut-ngikut logat dia deh.."
Nao menyedot es kelapa mudanya. Ia menjelaskan mengapa ia tiba-tiba merubah logatnya. Ternyata hal itu terus menghantui pikiran kepo Adit.
Sekarang mereka berdua sedang duduk-duduk di sebuah kedai dibawah pohon yang rindang, sambil meminum es kelapa muda, pilihan Adit. Cowok itu bilang, es di daerah ini enak, dan benar saja, Nao bahkan sedang menghabiskan gelas keduanya.
"Enak kan? Sok-sok ga mau. Pas nyoba taunya nambah. Jilat ludah sendiri lo" Adit mencibir. Ia mengeluarkan 2 lembar uang sepuluh ribuan, dan membayar pesanan mereka. "Loh? Bayarin es gue ya? Baik amat"
Nao tertawa dan menyeruput sisa-sisa esnya, lalu bangkit berdiri sambil memakai ranselnya dengan benar. Melihat itu, Adit ikut berdiri, dan mengambil alih plastik hitam cukup besar yang berisi belanjaan gadis itu.
"Gue aja yang bawain. Biar orang-orang tu tau kalo gue cowok yang gentle!" "Yain dah, supaya seneng. Baik kan gue? Memikirkan kesenangan lu?"
"Yain dah, supaya seneng. Baik kan gue? Memikirkan kesenangan lu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Years Ago [On Revision]
Teen FictionThis is the story about regretting someone. Not just someone,but some tragedy. Semua terjadi begitu cepat.Semua menjadi kelabu.Semua berlalu sangat haru. Meninggalkan semuanya 3 tahun lalu.