Memorizing 2

166 10 0
                                    

Bel pulang sudah dibunyikan beberapa menit yang lalu. Tetapi, Naomi masih betah berada di lingkungan sekolah. Tepatnya, di rooftop.

Ia melepas hoodie abu-abu yang sedari tadi ia pakai. Ditambah membuka 3 kancing teratas kemeja sekolahnya menampakkan kaus hitam tipis dan kalung perak bersimbol kalajengking. Zodiaknya.

Shit! Masih aja gue inget semua kelakuannya.

Kepalanya menggeleng beberapa kali. Kakinya melangkah menuju pinggir gedung. Tanpa peduli jikalau tempat yang ia datangi ini berpasir, ia mendudukkan diri di lantai rooftop. Membiarkan kakinya menjuntai dan mengayun.
Lagi-lagi ia menghela nafasnya. Menyadari perasaan dihatinya masih sering terasa perih.

Ia tersenyum kecut. "Gue tau lo ga bakal balik. Jadi plis, jangan buat gue makin kangen sama lo" ucapnya lirih. Kepalanya mendongak. Menatap langit-langit yang tidak sebiru biasanya. Yang mencoba menyembunyikan mentari dari tempat semestinya. Walaupun sinar mentari itu masih terpantul dibeberapa saat.

"Hhh.. gue harus apa biar ngga kayak gini lagi?" Ia mengusap wajahnya kasar. Bangkit, dan berteriak keras. "GUE BENCI LO! SUMPAH!"

Nafasnya terengah-engah. Antara sesak dan kesal. Kesal karena setelah bertahun-tahun, ia tidak juga berhasil melupakan. Hidup memang bukan untuk melupakan apa yang pernah terjadi, Naomi tahu betul tentang itu, tapi, kasusnya kali ini berbeda. Apa yang ingin ia lupakan hanyalah rasa bersalahnya terhadap orang itu. Dengan mengingat orang itu lagi, perasaan aneh muncul. Campur aduk. Dan kesalahannya adalah, tidak pernah mau menceritakan hal ganjal itu pada siapapun. Siapapun.

Sesak. Sesak karena rindu. Rindu teramat dalam yang sama sekali tak bisa ia lampiaskan. Sehingga menyisakan ruang lebar. Yang sialnya malah menyesakkan.

"Gue cuma punya lo tapi lo berkhianat kayak gini. Lo bego!" Kali ini tanpa berteriak. Ia masih tetap mendongak. Masih tetap berdiri. Juga, masih tetap sedih. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum sinis, "Katanya lo setuju sama lagu Anang Hermansyah yang tapi tak begini itu, katanya lo suka liriknya, dan janji ga akan lakuin hal yang ada di lagu Anang itu. Tapi apa? Just suck of bullshit!"

"Makan tuh kesukaan lo!" Tapi seberapa kuat ia menahan sesuatu itu, semakin kuat pula sesuatu itu mendorongnya. Hingga akhirnya, ia mengacak rambut pendeknya, dan mengeluarkan sebotol kecil minuman bening yang bila diminum akan membakar tenggorokan itu.

Ia meneguk tegukan pertamanya, "Ga ada gunanya emang" dan dilanjutkan tegukan kedua, "But, please, gue juga mau lupain semua" tegukan ketiga, "Tentang lo dan.." tegukan keempat "Semua tentang lo". Tangannya melempar botol kecil itu kebawah.

Dan akhirnya ia kembali duduk. Tertawa sinis, dan mencoba menikmati angin lagi.
"Sialan. Tenggorokan gue sakit gini" ia mengumpat pelan. Baru kali ini memang, ia meminum 'itu' lagi setelah hari itu.

"Bung Karno pernah bilang, ada saatnya dalam hidupmu, engaku ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata."  Suara bariton itu sukses membuat Nao terkejut. Ia menolehkan kepalanya ke belakang. Menatap si pemilik suara dengan tajam. Tapi siapa sangka, orang itu adalah Adit.

"Berarti lo ngerti dong kenapa gue disini," sahut cewek itu dengan volume rendah. Ia kembali meluruskan badannya, menatap sepenuhnya ke jalanan dan gedung-gedung. "Ngerti" cowok berlesung pipit itu mengambil tempat disebelah Nao. Tidak terlalu dekat, tapi bisa membuat Adit mencium bau alkohol yang di mix dengan rum itu dari cewek disebelahnya.

Dia minum?

"Kalo ngerti kenapa masih disini?" Nao jengkel. Quality time nya dengan rasa pedih yang ia rasakan menjadi terganggu. "Gue juga mau nyari peace of mind  kayak yang Bung Karno bilang. Tapi, ada lo. Jadi, mungkin gue bakal nyari peace of heart aja" sahutnya sambil melirik Nao yang juga sedang meliriknya.

"Tai." Adit hanya terkekeh kecil. Selanjutnya hanya keheningan yang hadir. Keduanya menikmati hening ini, menikmati semilir angin, menikmati kebisingan jalanan, menikmati rasa di setiap sisi hati masing-masing.

"Hari ini semua serba abu. Kalo ga abu ya broken white," Lelaki bermata gelap itu menunjuk ke arah yang ia maksudkan. Yaitu, langit, bangku taman sekolah yang ada di bawah, hoodie abu-abu Naomi, dan hoodie broken white miliknya.

Naomi mengikuti kemana telunjuk cowok itu mengarah. Lalu mengangguk sekilas. Tetapi perkataan Adit selanjutnya, membuat ia terbahak. "Tapi yang paling abu sih disini nih" ia menunjuk dada nya.

"Apa yang lucu?" "Elo hahaha.." Naomi memegangi perutnya yang mengejang geli. Beberapa helai rambutnya yang keluar dari ikatan menampar wajahnya. Membuat siswa yang sedari tadi melihat kearahnya ikut tertawa.

"Lah? Lo ngapa ketawa?" "Ngikut aja. Lagian lo kenapa ketawa?" Naomi mengentikan tawanya. Namun tak urung ia mengulum senyum. Ia mengikat kembali rambutnya dengan benar dan menyahut, "Gaya lo tadi udah kayak anak SMP cewek yang lagi galau-galau nya"

Adit berdecih, "Setiap kenangan akan bawa kita ke ruang hati paling dalam, melepas kita gitu aja ke ruang yang lama kelamaan jadi jurang, dan akhirnya menenggelamkan kita di keadaan paling gelap. Dimana semua akses untuk pergi dari situ ditutup."

"Dia biarin kita masuk, tapi ga pernah biarin kita keluar. Dan sialnya, kita masuk ke kenangan yang tadinya luar biasa indah, lalu seketika berubah jadi yang paling menyakitkan. Then, they would never let us go."

Naomi diam. Menatap Adit yang menatap ke cakrawala. Apa yang Adit ucapkan semuanya menohok Naomi. Menampar hatinya, mencubit jantungnya, hingga akhirnya ia hanya bisa menggigit bibir. Menahan tangis.

"Menangis itu melegakan. Bukan berarti lo lemah, tapi ada saatnya lo menyerah." Adit menepuk bahu Naomi. Membuat gadis itu meruntuhkan pertahanannya. Ini tangisan pertamanya. Di depan orang asing. Didepan orang yang bahkan belum tahu namanya. Didepan orang yang menggangu waktu tidurnya. Didepan orang yang sialnya sangat benar tentang keadaannya.

Bahkan gue ga pernah nangis gara-gara masalah paling parah ini di depan Cia dan Mute. Tapi sekarang?

Naomi menunduk. Menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Menahan isakkannya. Biarlah hanya pundaknya yang bergetar. Biarlah hanya air matanya yang keluar. Tapi tidak isakkannya. Tangan Adit terjulur. Mencoba menyentuh pundak Naomi, agar bersandar di bahunya. Namun, ia mengurungkan niatnya. Gue aja baru tau namanya dari pena. Nanti gue disangka modus. Ngga. Bukan Adit namanya.

"Awas itu ingusnya kena tangan. Nanti mau jabat tangan sama gue kan jijik.." Gadis itu mendengus. Ia membuka tangannya, dan menghapus sisa-sisa air matanya dengan lengan seragamnya. Ia kembali mendengus, gue malu-maluin amat. 3 tahun gue tahan tanpa nangis kejer kayak gini tapi baru dikasih quotes ga seberapa dari ni cowo jadi nangis. Hell

"Kenalin. Aaron Aditama. 11 IPA 1" Lelaki itu mengulurkan tangannya. Menatap mata lawan bicaranya dan tersenyum kecil. Naomi mengelap tangannya di atas roknya, dan membalas jabatan tangan itu. "Naomi Astrella. Sebela--"
"Sebelas IPS satu? Yaya udah tau."

Naomi melepaskan jabatan tangan itu dan kemudian mengambil ponselnya di dalam ransel yang ia geletakkan tak jauh dari tempatnya duduk.

Anjir, udah jam 5 aja! Gue kan ada janji sama bos. Ck!

"Gue balik duluan ya. Makasih quotesnya!" Gadis itu berdiri dan berlari kecil menuju pintu. Adit terkekeh, sebelum punggung Naomi benar-benar hilang, ia berteriak lantang, "SO WE ARE FRIENDS, ASTRELLA!" Naomi mengacungkan jempolnya, "DEAL!" dan menghilang dibalik pintu.

Sama sekali tidak menyadari kalau ada yang memanggilnya, Astrella.
Seperti 'orang itu'.

########

Naomi ganti nama guys. Gil juga ganti.
Jadi, Naomi Cecillia = Naomi Astrella
          Gilbert = Aaron Aditama
Namanya mereka aja kok yg ganti. Tunggu next partnya ya! Semoga dengan bergantinya naskah, jadi makin sukak ya wkwk

Xo
Vote n komen dong biar aq cmangad :v

3 Years Ago [On Revision]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang