Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

4. MARIA: Surrender

434K 22.1K 368
                                    

Rumah Tante Dina masih sepi. Jelas saja selalu sepi. Sekalipun aku dan beliau ada di rumah, kami jarang berbincang layaknya keluarga. Ditambah lagi tanteku itu selalu pulang malam, di saat aku hampir terlelap.

Aku masuk ke kamar dan membuka pakaian yang sudah bau keringat lalu bergegas ke kamar mandi. Rasa penatku luntur oleh guyuran air hangat dari shower. Walaupun pikiranku sama sekali tidak tenang, gara-gara nasib sial yang kualami hari ini.

Entah apa yang akan terjadi padaku besok. Nasib mujur saja yang membuatku tidak dilaporkan ke Dewan Keamanan kampus malam ini. Jika Andreas benar-benar melaporkanku besok, tamatlah sudah mimpiku menjadi arsitek.

Dan bagaimana besok aku harus melaporkan hal ini pada Flora? Dia pasti marah besar jika tahu aku gagal, dan akan melaksanakan ancamannya padaku. Membayangkan hal itu, air mataku tumpah tak tertahankan. Aku benar-benar payah! Pengecut! Bodoh! Lemah!

Apa susahnya melawan intimidasi Flora dan orang-orang itu? Apa susahnya melawan arogansi mereka?

Apa wajahku terlihat begitu lemah? Apa yang salah denganku? Apa hidupku memang akan terus seperti ini? Dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain. Dimanfaatkan untuk tujuan pribadi mereka saja, tidak peduli kalau tujuan mereka akan merugikanku, bahkan mencelakakanku.

Aku masih menangis untuk beberapa lama. Lalu tiba-tiba terlintas pikiran gila di otakku.

Apa baiknya aku mati saja? Toh tidak ada gunanya aku hidup kalau nasibku terus seperti ini.

Ya, mati mungkin lebih baik. Mengapa aku tidak ikut mati saja bersama Ibu? Mengapa Tuhan? Mengapa?

Aku meraih handuk di gantungan dan melangkah keluar dari kamar mandi. Lalu kubuka pintu kamar dan melongok. Tante Dina sepertinya belum pulang. Bagus. Itu yang kuharapkan.

Dengan langkah mantap, aku bergegas menuju dapur dan mengambil pisau—satu-satunya pisau di rumah ini, omong-omong. Segera kuambil benda tajam itu lalu membawanya ke kamar.

Dadaku berdebar keras saat menatap pisau di tanganku. Apa aku yakin? Ya.

Tidak akan ada yang kehilangan aku. Tante Dina mungkin akan menangis sebentar lalu dia pasti segera melupakanku dengan sibuk bekerja.

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi kembali. Kupandangi pisau di tangan kananku sekali lagi. Sayatan tajam di nadi tangan kiriku pasti akan membuatku kehabisan darah dalam beberapa menit.

Aku bergidik memikirkan itu karena jujur saja aku takut melihat darah. Bahkan darah haid membuatku merinding. Tetapi bagaimana lagi caranya mati dengan mudah? Gantung diri? Menabrakkan diri? Terjun dari lantai gedung yang tinggi?

Mengapa aku jadi bingung begini? Bukannya aku berniat mati?

"Mariaaa!"

Suara Tante Dina dan gedoran di pintu kamar mandi membuatku terlonjak kaget setengah mati.

"Kamu lihat pisau, nggak? Tante mau ngupas mangga, nih. Tante beli mangga Arum Manis tadi. Kamu mau?" seru Tante Dina yang terdengar di antara suara air yang mengucur dari shower.

"I-iya, Tanteee! Entar aku cariin pisaunya. A-aku mandi dulu!" balasku gugup.

Ternyata niatku untuk mati tidak sekuat yang kupikir.

***

"Gimana? Berhasil?"

Flora dan gengnya kembali memojokkanku di sebuah kelas kosong. Aku bingung harus mengatakan apa, kejujuran atau kebohongan? Mengaku atau menipu?

Akhirnya aku mengangguk, dan Flora tersenyum puas.

"Gimana caranya lo bisa masukin kantongnya?" ujar Cheryl, yang berdiri di samping Flora. Matanya menyipit, menatapku curiga.

Turn OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang