Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

5. ANDREAS: Fierce Coldness

462K 21.1K 553
                                    

Pukul tujuh pagi.

Gadis itu belum juga datang. Padahal aku sudah berbaik hati mengembalikan kartu mahasiswa dan KTP-nya. Aku memang bersikap dingin dan galak, tetapi aku juga masih punya hati nurani.

Jika dia hanya mengandalkan beasiswa untuk bisa kuliah, aku jadi berpikir jangan-jangan dia berniat mencuri karena dia adalah orang tidak punya. Hal itu membuatku sedikit melunak.

Namun, bukan berarti aku memaafkan tindakannya. Pencurian apa pun alasannya tidak bisa dibenarkan. Karena itulah aku ingin menghukumnya agar dia jera, dengan caraku sendiri.

Sebenarnya aku hampir lupa bahwa aku menahan kedua kartu miliknya dan bahkan tidak lagi peduli tentang kejadian di perpustakaan beberapa minggu yang lalu. Aku terlalu sibuk mengikuti bimbingan tugas akhir bersama Dicko dan Sandy, merevisi skripsi, dan mempersiapkan sidang akhir. Semua itu menyita waktuku selama beberapa minggu.

Aku baru ingat lagi kejadian itu kemarin sore, saat dia memohon-mohon padaku. Bahkan hukuman yang akan kuberikan atas tindakannya pun terlintas saat itu juga.

Kulirik kembali jam dinding di kamar, pukul tujuh lewat sepuluh menit. Aku benar-benar tidak suka orang yang jam karet.

Aku mulai berpikir dia tidak terlalu serius menginginkan kedua kartu itu kembali. Baiklah, lebih baik aku keluar saja, meskipun sebenarnya hari ini tidak ada jadwal penting apa pun di agendaku. Segala urusan yang berhubungan dengan persiapan sidang akhir sudah selesai kemarin. Jadi aku memutuskan ke rumah sakit lebih cepat untuk bergantian menjaga Papa dengan Kak Tere.

Aku meraih dua kartu yang tergeletak di nakas. Kubaca tulisan yang tertera di kartu mahasiswanya.

Maria Agustina. 15 Agustus 1996.

Fakultas Teknik, Departemen Arsitektur, Program Studi Arsitektur.

Kalau dia benar-benar bercita-cita menjadi arsitek seperti rengekannya di parkiran kemarin, aku harap dia cukup cerdas untuk tidak melepaskan kesempatan yang kuberikan.

Kuletakkan kembali kedua kartu itu lalu mengganti pakaian rumahku dengan celana panjang jeans dan kaos tanpa kerah. Tepat saat aku keluar dari kamar, bel apartemenku berbunyi.

Aku menyalakan interkom video dan dari monitor aku melihat seorang gadis berdiri di depan pintu. Maria. Aku mengamati wajah orientalnya yang sedang menatap cemas ke arah kamera. Kulirik jam tanganku, pukul tujuh tiga puluh lima menit.

Aku membuka pintu dan memasang wajah dingin. Ekspresi yang selalu kutunjukkan jika berhadapan dengan para gadis.

"Terlambat," ucapku pelan dan ketus.

Wajahnya terlihat tegang dan memerah.

"Maaf ... tersesat ... salah lantai ...," balasnya dengan napas tersengal-sengal.

Dia kelihatan sangat lelah, seperti orang yang baru saja berlari berkilo-kilo meter. Bulir keringat membasahi kening dan lehernya.

"Dari lantai berapa kamu naik tangga sampai ke sini?" tanyaku. Kedua tanganku bersedekap di depan dada. Kami masih berdiri di depan pintu.

Maria kelihatan malu. "Lantai lima belas," jawabnya dengan wajah yang semakin memerah.

"Kalau kamu masih punya waktu buat naik tangga dari lantai lima belas ke lantai dua puluh, mending kamu pakai buat nunggu lift," sindirku pedas.

Kepalanya tertunduk lemas dengan mulut terkatup rapat.

"Maaf," gumamnya teramat pelan.

"Kali ini aku maafin. Aku tegasin sama kamu, aku nggak suka orang telat, lelet, dan malas. Jadi kalo aku bilang jam tujuh, ya, jam tujuh. Kalo pun mau telat, kasih tau sebelumnya. Gunakan ponsel kamu. Kamu beruntung aku belum keluar. Kalo sempat tadi aku udah turun, kartu-kartu kamu nggak bakalan aku balikin lagi," ujarku dengan nada mengancam.

Turn OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang