Lima hari sebelum kelahiran Anne dan Zac.
ANDREAS
"Ouch!"
Sebuah pekikan tertahan membuatku menoleh. Aku mendapati Maria sedang berdiri di depan pintu kamar mandi sambil meringis lalu tertatih-tatih menuju walk in closet. Pasti karena si kembar lagi.
Sejak mereka mulai aktif bergerak, Maria selalu dibuat kewalahan. Contohnya saat dia tengah tidur pulas. Dia acap kali tersentak lalu terbangun akibat tendangan atau entah apa yang mereka lakukan di dalam sana.
"Tendangan super lagi?" tanyaku begitu berhasil menyusulnya.
Maria menoleh kemudian tersenyum lemah. Wajahnya terlihat sedikit pucat. "Kali ini gulat super kayaknya," balasnya sambil mengeluarkan satu set pakaian dalam dari laci.
Aku terkekeh lalu mendekatinya. "Wow. Lebih dahsyat dong."
"Dahsyat pake banget," Maria menjawab seraya berbalik memunggungiku. Detik berikutnya dia sudah melepas handuk kimono dari tubuhnya lalu mengenakan kedua benda itu dengan sedikit malu-malu.
"Jangan lihat," ucapnya sambil sesekali melirikku dari balik bahu.
Aku tertawa pelan. Dia malu bukan tanpa alasan. Sejak perutnya membesar, stretch mark berwarna putih mulai bermunculan. Menurutnya itu memalukan. Namun, bagiku sama sekali tak mengurangi keindahan. She looks so damn sexy!
Aku sering mendengar bahwa perempuan hamil terkadang terlihat jauh lebih menarik. Harus kuakui pendapat itu benar adanya. Perubahan fisik Maria sejak mengandung begitu signifikan. Terutama payudaranya. Ehm!
Hanya saja semakin bertambah usia kehamilan, aku merasa kasihan melihat tubuh mungilnya begitu kepayahan membawa perut yang membelendung. Usia kandungannya sudah memasuki minggu ke-34 dan berbagai macam keluhan sudah dia rasakan. Kesulitan berjalan, susah tidur, hingga sesak di dada yang terasa kian mengganggu, terutama saat berbaring.
Dokter Davia mengatakan bahwa itu wajar, karena paru-paru dan diafragmanya terdesak oleh dua janin yang semakin membesar. Lalu timbul pertanyaan di benakku, apa dia masih bisa bertahan hingga beberapa minggu lagi?
Aku masih menatapnya dari kepala hingga ujung kaki, sampai kemudian aku menyadari sesuatu yang tak biasa. "Kaki sama tangan kamu kenapa?"
Maria mengikuti arah pandangku. "Nggak tau nih, bengkak sejak semalam. Tante Dina bilang normal aja sih. Ibu dulu juga gini."
"Nggak ada keluhan lain? Muka kamu pucat, lho. Kamu sakit?" tanyaku cemas sambil berjalan mendekatinya.
Lagi-lagi Maria tersenyum lemah lalu menggeleng. "Tenang aja, Sayang. Cuma mual sama muntah. Pusing juga dikit. Paling habis tidur enakan lagi."
"Mual muntah? Bukannya morning sickness kamu udah berhenti?" kejarku seraya menyentuh lehernya, memeriksa apakah suhu tubuhnya terasa panas.
"Iya, sih. Mungkin karena aku kecapean. Aku bebenah pakaian si kembar sama perlengkapan mereka beberapa hari ini," tutur Maria menenangkanku.
Namun, aku sama sekali tak merasa tenang. "Makanya kamu jangan sok kuat, deh. Minta tolong yang lain 'kan bisa. Kenapa ngotot harus ngerjain sendiri, sih?"
"Aku nggak ngerjain sendiri kok. Bareng Mbak Satri, Tante Dina juga." Maria membela diri.
"Mulai besok kamu nggak boleh ngerjain apa-apa. Istirahat aja. Masak-memasak juga nggak usah dulu deh. Kak Tere nitipin Mbak Satri di sini khusus buat melayani keperluan kamu. Jadi biarkan dia ngerjain tugasnya. Tahan dulu diri kamu sampai setelah melahirkan. Kalo nggak nurut, aku nggak kasih izin kamu keluar dari kamar." Aku memberinya ultimatum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn On
RomanceLebih banyak drama! Turn On Season 2 sekarang sudah tayang di Vidio. *** Andreas bersikap dingin terhadap perempuan serta menderita impoten akibat trauma psikologis setelah dikhianati mantan kekasihnya, tetapi karena kesalahpahaman dia...
Wattpad Original