Wattpad Original

Extrapart #2

378K 13.8K 457
                                    

MARIA

Anne dan Zac kini berusia satu tahun tiga bulan. Keduanya sudah bisa melangkah, berjalan ke sana kemari mengeksplorasi seluruh penjuru rumah. Jujur saja aku mulai kewalahan dengan kondisi seperti itu dan tak lagi sanggup menjaga keduanya sekaligus. Maka dari itu aku meminta bantuan Tante Dina untuk mengawasi salah satunya. Seperti hari ini, tanteku membuntuti Anne yang sedang keranjingan naik turun tangga, sementara aku mengejar-ngejar Zac yang memutuskan mengunjungi ruang kerja ayahnya.

Ngomong-ngomong soal ayahnya anak-anak, Andreas sekarang sudah diangkat menjadi Supervisor di perusahaan. Dia mulai jauh lebih sibuk bahkan di akhir pekan. Ditambah lagi jadwal kuliahnya yang padat membuat dia kewalahan mengatur waktu untuk sekadar berkumpul bersama keluarga.

Aku tak terlalu mempersoalkannya. Justru suamiku itu yang selalu berkeluh kesah. Dia bahkan sempat berpikir untuk resign, meninggalkan tanggung jawabnya di perusahaan keluarga Malik. Papa jelas tak setuju karena keinginan beliau adalah menjadikan Andreas sebagai pimpinan perusahaan suatu hari nanti.

Aku berusaha menyemangati dan menenangkannya. Sekalipun kami tak lagi memiliki kuantitas waktu berkumpul yang cukup banyak, yang terpenting adalah kualitas. Bagiku, menciptakan momen terbaik dalam suatu hubungan jauh lebih penting ketimbang intensitas pertemuan yang terlalu sering, tapi tak memiliki kesan apa pun.

"Hei, Bocah kecil! Senang banget, ya, acak-acak meja kerja Ayah, hmm?" Suara Andreas yang terdengar tiba-tiba membuat aku serta Zac—yang tengah berdiri di atas meja kerja ayahnya, menoleh.

Zac sekonyong-konyong menjerit gembira dan melompat-lompat riang menyambut ayahnya yang baru saja pulang dari kantor. Sebelah tangan Andreas menenteng tas kerja dan yang lain tengah menggendong Anne—dia juga menjerit-jerit kegirangan. Aku segera meraih tas tersebut dan menaruhnya di atas meja, sementara putraku segera mengulurkan tangan minta digendong ayahnya juga.

"Yayah!" serunya ceria saat sudah berada dalam gendongan tangan kiri Andreas.

Aku dan Andreas tertawa mendengar kata yang Zac ucapkan. Yayah berarti ayah. Seolah tak mau kalah, tiba-tiba Anne menirukan apa yang baru saja dilontarkan saudara kembarnya.

"Yayah! Yayah!" Anne melonjak-lonjak gembira dalam gendongan tangan kanan Andreas.

"Anak-anak Ayah pintar banget! Lagi dong, lagi. Aaaa-yah!" Andreas mengajari mereka mengeja dengan benar. Namun, keduanya tetap menyebutkan kata yayah. Lagi-lagi membuat aku dan Andreas tertawa.

"Bilang bunda dong, anak-anak. Bun-da! Ayo. Bun-da!"

Anne dan Zac malah berujar, "Ma-ma!" Aku cemberut karenanya, sementara Andreas tergelak-gelak mengejekku. Segera kucubit pinggangnya, membuat suamiku itu mengaduh. Si kembar memang belum bisa mengucapkan kata bunda. Barangkali karena kata bunda masih terlalu sulit diucapkan oleh lidah mereka.

"Ha ha ha! Ada yang jealous nih yeeee ... ayo, anak-anak. Bilang yayah lagi dong! Ya-yah!"

Anne dan Zac lagi-lagi menirukan kata itu dengan fasih.

Aku memajukan bibir, pura-pura cemberut dan merajuk. "Gitu deh, ya. 'Kan Bunda yang lahirin kalian berdua. Kok malah duluan bisa bilang Ayah, sih? Nggak Bunda kasih ASI lagi entar lhooo."

Andreas terbahak-bahak, disusul tawa anak-anak kami. Astaga ... mereka bahkan berkomplot dengan ayahnya! Aku melengos dan berbalik memunggungi ketiganya lantas segera melangkah menuju pintu.

"Duh! Gawat nih, anak-anak. Tiada ASI bagimu itu tandanya kiamat! Ayo, segera bujuk Bunda!" Andreas berkata dengan nada jenaka, membuatku terkekeh.

Aku keluar lebih dulu dari ruang kerja lalu menaiki tangga menuju ke kamar. Sekarang sudah hampir pukul sembilan malam, waktu tidur anak-anak sudah lewat satu jam dari yang seharusnya. Keduanya masih terjaga karena mereka hanya akan mau tidur setelah menyambut Andreas pulang. Kubiarkan Andreas menggendong si kembar sendirian. Dia sudah sering melakukannya dan baginya hal itu adalah pekerjaan ringan. Kalau aku pasti sudah ngos-ngosan.

Turn OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang