4. Unicorn Girl From Bandung

64.8K 1.8K 135
                                    

Multimedia : Dari Mata by JAZ

Multimedia : Dari Mata by JAZ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


p a r t four


Taxi yang membawa Abigail dari Bandara Soekarno Hatta berhenti di depan sebuah rumah besar, di kawasan perumahan elite Jakarta Selatan. Abigail menurunkan semua barang bawaannya lalu berjalan pelan mendekati pintu gerbang. Matanya menyapu ke seluruh penjuru rumah yang tergambar jelas dari sela-sela besi-besi coklat. Di sisi kanan pintu terdapat sebuah pos penjagaan, terpikirkan oleh Abigail kalau dia harus menemui seseorang di dalam sana untuk dapat mengetahui secara pasti apakah benar rumah ini yang tertera di kartu nama pemberian ayahnya.

Pos yang semula Abigail kira memberinya petunjuk pertama nyatanya kosong, tidak berpenghuni. Sebagian dari hatinya dihinggapi keraguan, pemilik rumah ini pastilah bukan orang kaya biasa, melainkan orang kaya yang jika mau diumpamakan, hartanya tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Abigail heran sekaligus bingung, mungkinkah dia salah alamat? Benarkah ayahnya mempunyai saudara sepupu yang kaya raya seperti ini?

"Alamatnya sih bener, nomer rumahnya—" Abigail menilik tempelan berwarna kuning emas yang menunjukkan nomor rumah tersebut. "—iya sama kayak di kartu nama, nomer 34. Tapi kok– duh, gue masuk nggak ya? Kalo ternyata salah rumah atau sodaranya Papa udah pindah gimana? Kan tengsin. Haduh!"

Abigail ingin menggunakan metode lama, yaitu menjatuhkan pilihan melalui penunjukkan terakhir kancing baju. Tapi sayangnya, sore ini Abigail memakai terusan abu-abu berbahan kaos dan tidak ada kancingnya sama sekali.

"Oke, gue nggak boleh takut. Kalo bener ini rumahnya ya Puji Tuhan, kalo salah ya...gue kabur," ucap Abigail menenangkan dirinya sendiri.

Tangannya masuk melalui salah satu celah, menggapai pengaman gerbang yang ternyata tidak digembok. Langkah pertama Abigail terbilang sukses. Meski ragu-ragu, sekarang dia sudah menaiki tangga berlapis marmer untuk menuju pintu utama.

Abigail mengumpulkan semua keberaniannya lantas mulai mengetukkan buku-buku jarinya yang tertekuk pada pintu kayu raksasa yang diatasnya dihiasi ukiran.

Dua kali, ketukan Abigail tidak mendapatkan respon. Baru pada ketukan ketiga, suara orang tergopoh-gopoh dari balik pintu dapat didengar oleh Abigail.

"Selamat sore," sapa Abigail ketika seorang wanita berpakaian terusan merah muda membukakannya pintu.

"Selamat sore, mau cari siapa ya?"

"Maaf, apa benar ini rumahnya Bapak Erlangga Aryasastra?" tanya Abigail sembari membaca ulang nama di kartu nama yang dia pegang. Padahal, sudah hampir dua puluh kali Abigail menghafal nama itu, tapi begitu melihat wanita di depannya, pikiran Abigail rasanya blank. Abigail gugup.

Wanita itu mengerutkan keningnya. Bukannya menjawab pertanyaan Abigail, dia justru menelisik penampilan Abigail dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tidak berhenti di situ, wanita itu juga melihat tas hitam yang menyampir di bahu kanan Abigail, koper coklat besar dan boneka unicorn warna putih berbulu pink di kepalanya yang diapit di tangan kiri Abigail. Tatap mata wanita di depannya membuat Abigail resah. Apa ada yang salah dengan dirinya? Perasaan, baju yang dia pakai tergolong sopan.

Feeling High ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang