7. Am I a Loser?

46.7K 1.4K 38
                                    

Multimedia : The Man Who Can't Be Moved by The Script

Multimedia : The Man Who Can't Be Moved by The Script

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

p a r t seven


"Abi nggak males kok, Ma. Abi nggak pernah ngerepotin Bi Sarti sama yang lainnya. Abi kan bisa ngerjain semuanya sendiri, Ma," ucap Abigail sembari melipat baju. Ponselnya diapit oleh telinga kanan dan bahunya. Sudah sejak dua belas menit yang lalu Fena meneleponnya, ingin tahu bagaimana kabar anak gadisnya yang terpisah jarak puluhan kilometer.

"Mama nggak enak aja kalo kamu nggak mau bantu-bantu di rumah Om Erlangga. Keluarga mereka udah baik banget sama kita, Bi."

Abigail memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Tumpukan baju yang telah dia cuci kemarin sore berada di dekat kakinya yang bersila. "Abi selalu bersihin kamar Abi sendiri kok, Ma. Malahan kalo pas Bi Sarti atau mbak yang lainnya lagi beres-beres rumah Abi suka ikutan. Abisnya nggak ada kerjaan juga, kuliah Abi masih mulai dua mingguan lagi. Jenuh juga kan kalo cuma diem aja. Apa Abi pulang ke Bandung dulu aja ya, Ma? Berapa hari gitu nginep di rumah. Abi kangen banget sama Papa Mama, sama rumah Bandung juga."

"Mama sama Papa sebenernya juga kangen banget sama Abi. Sekarang rumah sepi tau nggak ada Abi. Mama suka kangen denger kamu nyanyi-nyanyi gitu. Tapi kamu kan belum bisa pulang sekarang, nggak enak kan sama Om Erlangga sama Tante Erina."

"Terus kapan dong kita bisa ketemu, Ma?" tanya Abigail lemah sambil memajukan bibirnya. Ekspresi spontan yang hanya bisa dilihat oleh dirinya sendiri melalui pantulan cermin di depan posisinya duduk.

"Sabar ya, Bi. Nanti kalo kamu udah mulai kuliah kan waktunya bisa diatur lagi. Kalo dalam waktu dekat ini kesannya kamu kayak mau enaknya aja, udah didaftarin kuliah terus pulang ke Bandung. Nanti tau-tau pulang kesitu pas udah mau kuliah. Jangan gitu ah, Bi. Selama masih ada waktu sebelum kuliah kamu kan bisa bantu-bantu juga disitu."

Abigail menghela nafas. Apa yang dikatakan Fena ada benarnya juga. Lagipula beberapa hari tinggal disini, Abigail sama sekali tidak merasa kalau keberadaannya hanya sebagai pengganggu. Justru dia diterima dengan sangat baik.

"Abi?"

"Abi dengerin, Ma, Abi nurut apa kata Mama aja deh."

"Oya, Bi, Mama sebenernya mau cerita sesuatu sama kamu, tapi gimana ya, Mama nggak mau kamu kepikiran soalnya."

"Ada masalah, Ma? Kenapa? Mama cerita aja sama Abi."

"Kemaren sore Meta dateng ke rumah, Bi. Dia nyariin kamu."

Hati Abigail mencelos begitu mendengar nama Meta disebut. Sosoknya dulu teramat dekat dengan Abigail, sampai-sampai kedekatan itu membuat Meta tega menusukkan pisau tajam ke hatinya.

"Perut Meta udah keliatan gede lho, Bi. Katanya usia kandungannya udah jalan lima bulan. Dan...."

"Dan apa, Ma?"

Feeling High ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang