Mereka hanya ditemani suara desis angin yang menyebabkan daun-daun jatuh bergulung-gulung di tanah saat keduanya bergegas mengarungi rimba para monster. Tak mengandalkan pedoman kompas maupun arah mata angin, hanya pusaran kekuatan yang dirasa berdentam di dada sang pemuda berjubah. Monster anjing-anjing beringas terkadang datang dari bayang-bayang, tetapi kapak bertarung sang gadis berambut merah sanggup mencincang otot-otot monster itu tanpa membuat satu pun dari mereka dapat menyalak lagi.Sang pemuda berjubah yang mengenakan tudung meliputi kepalanya itu tiba-tiba berhenti setelah menumpas lusinan monster kemudian. Cairan hitam pekat menciptakan jejak sepatu yang terstempel di lintasan jalan keduanya—berkat semua pertarungan itu—terus memanjang lurus seiring langkah mereka, tetapi sang gadis kini pun berhenti dan memandang heran rekannya. Tatapan pria itu tangguh ke arah kedalaman hutan di sisinya, yang tampak seperti lorong suram dengan para pengintai bercakar yang berkedipan di berbagai sudut.
Ada sesuatu tentang para monster dan habitat liar itu yang membuat sang pemuda berjubah menaruh rasa hormatnya. Teritorium West bagian tengah ini sama sekali tak terlihat menua, setelah laluan era. Pohon-pohon kian kaya akan warna hijau asri sebagai simbol kehidupan, walau satu-satunya kehidupan yang terjamin di tempat ini adalah kehidupan para monster. Tak ada makhluk kegelapan yang berhasil merusak alam mereka, alam para monster, yang sebenarnya berkelakuan ganas karena mereka sejatinya adalah para guardian alam, dan pemuda itu tahu bahwa para monster itu telah berhasil melakukan pekerjaan mereka.
"Mengapa kau berhenti?" Sang gadis berambut merah menggerak-gerikkan sayap hitamnya yang lebar hingga pucuknya menempel tanah. Dia tak terlihat terlalu mudah berjalan dengan sayap kelelawar berotot yang menjulang di punggungnya, tetapi dia memang tidak memiliki pilihan lain karena dia tidak bisa terbang terlalu tinggi di hutan itu.
"Sepertinya aku merasakan sesuatu," gumam sang pemuda berjubah sambil menyimak reaksi lingkungannya baik-baik.
"Kaubilang tadi arahnya ke sana." Gadis iblis itu berdecak kesal.
"Ayolah, Anna. Bisa kau dengar itu?"
"Apa?" Anna mengangkat alisnya.
"Suara air mengalir. Ada sungai di dekat sini."
"Lalu? Kau ingin minum?"
"Tidak ... hanya saja ..." Nada suara sang pemuda itu cukup yakin. "aku merasa ada sesuatu yang lain di sana."
Anna memutar kedua bola mata yang memiliki warna merah dan biru itu. "Portal tidak akan bisa berpindah-pindah. Jika terakhir kali benda itu berada di hulu, maka tidak mungkin tiba-tiba ia bisa berada di hilir."
"Ya, aku tahu." Pemuda itu sudah akan berpaling meninggalkannya. "Tapi ada sesuatu yang lain."
"Ah, kau ini amat membuang-buang waktu! Sesuatu yang lain ... seperti monster-monster itu? Dengar, kita tak punya waktu banyak untuk menghabisi monster, Zveon, dan yang kaurasakan itu bukan apa-apa—HEI! MAU KE MANA KAU?"
Insting mengendalikan tubuhnya seperti petir yang membelah udara, dan bayangan-bayangan dimensi membentuk lorong kabur untuk kecepatannya yang luar biasa. Tudung gelapnya terbuka, dan di atas bahu bidang itu, wajahnya terterpa cahaya. Pantulan terang berkilat di iris merahnya, memberi penjelasan mengapa kakinya dapat bertapak sesekejap mata. Rambut biru segelap malam terhempas ke belakang dan menampakkan kulit wajah yang putih pucat. Sebagian dirinya yang merupakan vampir abadi dapat bergerak lebih cepat dari makhluk mana pun, sebagian dirinya yang lain dapat menjangkau deru aura sihir yang begitu lembut, dan di hatinya, begitu familiar.
Zveon keluar dari barisan pohon di tepi sungai, tangannya menyepak daun-daun raksasa yang malang-melintang. Mata merahnya memandang nanap begitu dia menyaksikan pemandangan yang membuat tubuhnya gemetaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shine and Shadow (Dark and Light, #2)
FantasiaSequel of Dark and Light by Mandascribes. ROMANCE - FANTASY - ACTION - ADVENTURE *** Mempertahankan sebuah dunia yang sebagian penghuninya adalah para monster tidak mudah. Bagi mereka yang ingin mempertahankan kedamaian, harus siap kehilangan segala...