Chapter 12 - Briquette Attes

2.2K 309 54
                                    

Pemuda elf jangkung itu memasuki sebuah wisma sederhana dengan dinding kayu. Begitu tiba di pintu utama, kantung besar berisi hasil ladang yang semula dipikulnya langsung diletakkannya di lantai. "Ibu, aku pulang!" serunya, kemudian disambut oleh tengokan seorang wanita elf paruh baya dari ruangan lain yang menghampirinya dengan cemas.

"Nak, syukurlah, kau sudah pulang," Ibu pemuda itu menatapnya dengan mata nanar.

"Memangnya ada apa Bu?"

"Aku hanya mengkhawatirkan ayahmu. Ia masih belum kembali sejak tadi siang, katanya ia akan mengambil air minum untuk kita di sumur Emeritus. Bagaimana kalau kau ke sana dan mencarinya, Nak?"

Setelah memikirkannya, elf laki-laki itu sadar betapa haus dirinya saat itu. Kerja kerasnya hari itu cukup menguras cadangan cairan dari tubuhnya. Kini ia harus menghabiskan lebih banyak energi untuk berjalan berkilo-kilo dari distrik tempat tinggalnya menuju Padang Emeritus yang merupakan tempat warga distriknya mengambil air dari sumur. Biasanya ayahnya memang yang selalu membawakan air untuk keluarga mereka. Mungkin saja ayah pergi ke suatu tempat tanpa bilang-bilang, pikir pemuda elf itu remeh saat ia berjalan keluar dan menapaki tanah yang makin jarang ditumbuhi rumput. Selang waktu dua puluh menit, tanah yang ditapakinya sudah mengering dan berpasir.

Sebuah sumur dari batu kapur putih terpampang jelas di depan mata elf itu. Ia berhenti sejenak dan menyipitkan matanya karena tiupan angin yang menerbangkan pasir di sekitarnya, juga karena hari mulai akan dirasuki kegelapan, jadi ia harus benar-benar menajamkan penglihatannya. Genangan cairan tersimbah dari sekitar sumur itu. Yang membuat sang pemuda elf tercekat, adalah bahwa cairan itu bukan air biasa. Cairan itu berwarna merah pekat, dan ketika sang pemuda elf beranjak mendekat untuk menyaksikan bagian belakang dari sumur, mayat seorang laki-laki tua terbujur kaku, tubuhnya terkoyak dan tercabik mengenaskan. Sebuah ember kosong tergeletak di sampingnya, menyisakan sedikit air yang bercampur darah.

"Ayah!" pemuda elf itu berteriak nyaring. Sebelum ia mulai menghampiri jasad yang amat dikenalnya itu, geraman makhluk terdengar di telinganya. Pemuda itu mengalihkan pandangan ke bagian barat, di mana Padang Emeritus menyembulkan bukit-bukitnya yang gelap. Sosok makhluk berbentuk serigala dengan mata hijau terang berdiri beberapa meter darinya, meneteskan liur-liur lapar. Makhluk itu mengintainya dari kejauhan, lalu ia mendekat perlahan-lahan, membuat sang elf terkejut ketika makhluk itu menegapkan sesuatu yang menyerupai bentang kehitaman dari balik punggungnya. Kedua kaki pemuda elf itu menegang ketika rasa takut menguasai tubuhnya, mencegahnya bergerak sedikit pun. Makhluk itu pun menyambarnya dalam sekejap.

"AARRGGHHH!!!"

Suara teriakan pemuda itu terdengar bermil-mil sampai tempat persinggahan tiga sosok laki-laki di suatu tempat. Salah satu dari mereka berwajah bengis dan memiliki gigi-gigi taring bak para monster, dan ia tertawa keras begitu mendengarnya, seakan-akan itu adalah pertunjukan yang berhasil menghiburnya.

"Jangan senang dulu, Keegan," timpal sosok kedua di sampingnya, yang memiliki rambut cepak berwarna putih, warna rambut itu tak menyiratkan umurnya yang masih muda. Tampangnya tenang meskipun warna matanya yang merah selalu terlihat nyalang. "ini masih belum seberapa. Kita butuh sebanyak-banyaknya korban. Sebanyak-banyaknya darah."

"Julius benar," Pria bermantel hitam dengan mata ungu gelap kini menukas. "kita baru saja menjalankan bagian pertama dari rencana kita."

Mendengar itu, sang pria berwajah bengis menyengir lebar, sadar akan tiap komentar yang dilontarkan rekan-rekannya. "Aku tahu itu, Thorne. Kalian begitu tidak sabar." Lalu ia menoleh pada jejak senja terakhir yang mencakar angkasa di padang pasir itu.

"Malam ini kita bersenang-senang." Mata Keegan berkilat kehijauan di balik malam.

*

BRAK!!!

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang