Kabut asap itu tak sempat merangsang paru-paruku untuk mengosongkan isinya, membuatku terbenam dalam sesaknya udara pekat dengan peraian debu di jaras penglihatanku. Setelah letupan itu, aku tidak mengingat apa-apa lagi selain kegelapan yang mengungkung. Denyut nyeri memijat bagian tubuhku, kadang sampai menggetarkan tengkorakku. Derak waktu tidak lagi dapat kusadari. Aku hanya dapat merasakan tubuhku terombang-ambing oleh sesuatu—atau seseorang—yang memapasku entah dengan niatan macam apa. Terkadang aku dapat mendengar bisikan-bisikan, atau suara seseorang yang sepertinya kukenal. Pikiranku terlalu buram untuk dapat memberi konklusi apapun.
Aku merasa tubuhku menghantam sesuatu yang keras. Utasan tali menjerat pergelangan tangan dan kakiku, memblokade kehangatan aliran darahku. Aku mengernyit, sekuat tenaga berusaha untuk menghilangkan rasa pening yang menyiksa ubun-ubunku. Upayaku akhirnya membuahkan hasil, walau aku hanya dapat melihat dari celah kelopak mataku yang sempit. Asap menyesakkan itu telah musnah, namun kegelapan sebuah ruangan menjadi pembuta berikutnya. Sorot cahaya menampakkan partikel-partikel debu yang berkelap-kelip di sampingku—kuputar kepalaku ke kanan hanya untuk mendapat tampikan sinar rembulan yang mencengkeram saraf penglihatanku. Aku mengerjap-erjapkan mata setengah sempoyongan, rupanya mataku masih sangat sensitif terhadap rangsangan cahaya. Gorden-gorden yang menjuntai terembuskan angin malam, turut melecutiku dengan suhu dingin yang dibawanya.
Dalam kondisi setengah sadar, aku masih bisa mengetahui bahwa fitur ruangan gelap dengan jendela sebesar itu pastilah berasal dari interior Istana Kegelapan. Aku tidak melupakan desain elegan dengan corakan gelap yang mewarnai sudut-sudutnya. Atau, setidaknya itu hanya prasangkaku saja. Seluruh bentuk furnitur di dalam ruangan itu masih tertimbun kegelapan dengan sempurna, bahkan pantulan cahaya emas di angkasa malam hanya mampu menyinariku, yang mungkin satu-satunya yang bukan berasal dari Dunia Kegelapan di tempat itu.
Aku memejamkan mataku beberapa kali agar saraf penglihatanku bisa menyesuaikan diri dengan keremangan di hadapanku. Akhirnya, aku mampu menegakkan leherku yang sudah lama terkulai dan hampir mencekik saluran napasku sendiri. Aku terbatuk-batuk beberapa kali, mengeluarkan butiran debu yang berhasil menyusup di tenggorokanku. Kuhirup napas dalam-dalam untuk menenangkan jantungku yang mulai berguncang gugup. Rambutku hitamku acak-acakan, menutupi sebagian mataku yang sudah dibutakan oleh kekontrasan gelap-terang.
"Forest ... akhirnya kau terbangun juga."
Itu suara seorang wanita. Dan aku lebih terkinjat lagi saat sosok itu melangkah maju dari bayangan gelap yang sempat menguburnya. Sinar rembulan menciptakan siluet yang indah, mempertontonkan ekspresi murka yang jarang terlihat di paras jelitanya. Sepasang mata kristal violet itu berkilau walau bayangan masih menutupinya dengan ratusan kekelaman yang nyata.
Aku hanya mendengus, entah mengapa aku tidak terkejut.
"Stella..." Aku berkata dengan suara yang serak, dan dengan tawa yang berusaha kupendam. "setelah sekian lama, kini kau yang menampakkan jati dirimu. Aku seharusnya tahu apa yang adik Zveon dapat lakukan dengan segenap kegelapan di hatinya."
Aku menodong Stella dengan pandangan dingin saat kupergoki dirinya berusaha menyembunyikan sesuatu yang terlihat seperti bilah berkilat di tangannya. Stella terdiam di tempatnya dengan hati yang sedikit goyah. Putri itu hanya melirik ke bawah dengan gemetaran.
"Aku tidak berniat melukaimu, Forest," ucapnya dengan roman yang gundah. Ketika Putri Kegelapan itu menatapku lagi, iris matanya sedikit bergetar. Keadaanku yang terikat di atas kursi saat itu mungkin terlihat amat memilukan baginya, meskipun aku tahu dia yang telah menculikku.
Kusandarkan tubuhku ke belakang sejauh-jauhnya untuk menggerakkan tanganku yang hampir mati rasa. Dari belakang sandaran kursi, jemariku berhasil bergerak setelah beberapa saat lumpuh karena dingin yang merangsek. Sengatan-sengatan listrik terasa menjalar sampai ke lenganku karena oksigen yang hilang dari tubuhku, tetapi aku terus berusaha menggapai pergelangan kakiku yang diikat tak jauh dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shine and Shadow (Dark and Light, #2)
FantasiaSequel of Dark and Light by Mandascribes. ROMANCE - FANTASY - ACTION - ADVENTURE *** Mempertahankan sebuah dunia yang sebagian penghuninya adalah para monster tidak mudah. Bagi mereka yang ingin mempertahankan kedamaian, harus siap kehilangan segala...