Chapter 19 - Scattered Hearts

1.1K 176 48
                                    

A/N: Selamat menunaikan ibadah puasa ramadhan bagi yang menjalankan. ^^

Sebelum kalian membaca chapter ini, aku beri peringatan dulu ya ... CHAPTER INI SEDIH 100%. Kalau kalian takut ini bakal mengganggu mood atau aktivitas (baik itu puasa atau bukan) tolong siapkan hati dan mental dulu. Jadi, pelan-pelan bacanya ya.

*

*

*

Ost: Terrible Things - Mayday Parade.

Zveon pikir ketika portal itu terbuka dan mengembalikan gadis pujaannya, segalanya akan lebih indah. Zveon juga berpikir, dapat mendekap dan merasakan sinarnya akan dapat melenyapkan segala ramalan nestapa. Tetapi semua itu belum juga memuaskannya, karena siapa yang mengira bahwa dirinya tak dapat memiliki sang Renjana, dari seluruh penjuru Benua Barat kepunyaannya.

Kini, paparan cahaya apapun terasa begitu menyakitkan. Bagaimana dia akan dapat melupakan cahaya yang pertama kali menyinarinya dengan lembut, yang memberi segenap kekebalan agar cahaya apapun mendamaikan pandangannya, dan yang memberi kehangatan pada suhu beku tubuhnya? Zveon merasa ingin kembali ke masa ketika dirinya bersembunyi dari segala terpaan kirana. Karena ketidakmampuannya untuk memiliki cahaya itu amat menyiksa.

Bahkan bila dia berhasil meninggalkannya ... Tidak. Tentu saja tidak. Itu tidak akan terjadi, bukan? pikirnya ketika penyihir-vampir itu memberanikan diri sedikit demi sedikit untuk menatap semburat matahari tenggelam di balik lembaran gorden istana. Corak merah-jingga menggores awan dan angkasa dengan sapuan lembutnya, membawakan memori abadi Ziella pada benak Zveon sampai kapanpun. Terpegarilah ingatan ketika dia terlelap di bahu kekasihnya itu kemarin, momen yang dia harap akan bertahan lebih lama.

Zveon sangat ingin menemuinya lagi, tetapi dia memberikan kesempatan agar cahayanya itu dapat beristirahat total selama seharian ini. Lagi pula, konferensi warrior akan dilaksanakan besok. Zveon pasti akan menemuinya, entah dalam camukan emosi macam apa.

Tidak, aku tidak bisa melepaskan Ziella. Ia segalanya bagiku...

Zveon tak menghiraukan aura magis gadis penyihir yang menyilik dari balik pintu ruangan. Stella menyaksikan segalanya—mulai dari kedatangan Forest hingga perseteruan mereka yang mendebarkan. Dengan lesu, Putri Kegelapan itu berhenti mengintip kakaknya dan menyandarkan diri di dinding koridor dengan bermuram durja. Denyutan cepat membuat perih hati mungilnya, dan membuat kelipan sendu pada matanya. Andai saja nyeri itu dapat mengurangi beban sang Kakak yang amat disayangnya. Digenggamnya kedua tangan untuk berharap agar Tuhan tidak memisahkan mereka.

*

Para perawat Istana Central sudah membolehkan kami pulang sejak kemarin. Setelah rehat selama sehari, guratan luka lepuh yang membuat kelu kedua tanganku kini menghilang secara magis dan hanya menyisakan sedikit luka yang samar. Kondisi Maggie pun juga jauh lebih baik—setelah aku bersusah payah menjejalkan banyak makanan pada mulutnya dalam waktu dua hari terakhir ini—kini hellbender itu dapat berdiri tegap dengan letupan energi yang baru.

Sang Pyrenix mengangkut kami di atas punggung berbulunya yang bercahaya, senada dengan warna silau mentari di langit Fantasia Cosmo. Landasan beraspal di samping sebuah bangunan putih atau markas para pendekar fantasi itu menjadi tujuan kami. Maggie bilang, mereka akan mendiskusikan perihal penyerangan Keegan lebih lanjut. Tumpah darah yang mungkin terjadi tak membuatku gentar, karena inilah yang kuharapkan ketika aku memutuskan untuk pergi bersama Zveon dan meninggalkan suaka penuh misteri itu.

Shine and Shadow (Dark and Light, #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang