Bagian 21

117 7 2
                                    


"Fatur awas!!"

BRAAAKKK..

Aya begitu terkejut saat menyaksikan kejadian yang begitu cepat terjadi di depan matanya. Dia masih tetap pada posisinya terdiam tanpa bersuara. Dia tidak menyangka orang yang baru saja berbicara dengannya melalui telepon, orang yang baru saja berjanji untuk menawarkan dadanya sebagai tempat dia bersandar, kini terbaring lemah tak berdaya dengan banyak darah keluar di sekitar bagian kepalanya.

Suara teriakan warga sekitar dan mobil ambulans akhirnya membuat Aya tersadar dari lamunannya. Dia langsung bergegas menghampiri Fatur yang kini sudah siap untuk dimasukkan ke dalam mobil ambulans. "Saya keluarganya pak,  saya ikut." Aya langsung masuk dan menguatkan hati melihat kondisi Fatur dengan dekat seperti ini. Beruntung Aya masih bisa melihat senyum Fatur saat dia menggenggam erat tangannya, sebelum akhirnya Fatur tak sadarkan diri. "Fatur,  kamu harus bertahan. Kumohon Ya Allah." Aya sudah tidak bisa membendung air matanya lagi.

Sesampai di rumah sakit Fatur langsung dibawa ke ruang ICU. Fatur tidak pernah menyangka. Belum lama dia mengatakan Tuhan masih memberikan kesempatan padanya untuk bisa berjumpa dengan Aya, tapi kenyataannya takdir berkata lain. Dia tidak tau apakah dia masih punya kesempatan itu atau pertemuan kemarin adalah pertemuan terakhirnya dengan Aya.

Aya masih menunggu di luar kamar. Dia tidak mempedulikan keadaan dirinya, bajunya yang terkena lumuran darah pun tidak dihiraukannya. Pikirannya masih berkutat pada percakapan dengan Fatur sebelum kecelakaan tadi. Andai saja dia tidak sekekanak-kanakan ini, andai dia tidak langsung berlari, andai dia mau mendengarkan penjelasan dari keluarganya tadi, kecelakaan ini kemungkinan tidak akan terjadi. "Ya Allah,  kumohon selamatkan Fatur. Dia bahkan belum bicara langsung tentang perasaannya padakudia juga belum tau bagaimana perasaanku padanya." keluh hati Aya.

Beberapa menit kemudian keluarga dan sahabat Fatur datang. Sekacau-kacaunya Aya, dia tidak akan lupa untuk mengabari keluarga Fatur yang sudah dia anggap sebagai keluarganya.

"Aya, gimana kondisi Fatur? Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Bunda panik sambil memeriksa sekujur tubuh Aya.

"Aya ga papa Bund, tapi Fatur. Fatur masih di ruang operasi Bund. Maafkan Aya Bund, ini semua gara-gara Aya. Andai saja Aya tidak lari."

Bunda langsung memeluk Aya. "Sst.. Kamu ga boleh ngomong gitu Aya. Ini semua sudah takdir Tuhan. Kita hanya perlu berdoa untuk kesembuhan Fatur." Bunda berusaha tegar meski di dalam hatinya dia sangat cemas.

"Kak Fatur, kak." Laras yang berdiri tidak jauh dari mereka juga tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. Angga hanya bisa memeluk untuk memberi dukungan agar Laras tetap tenang.

Suara detik jam dinding yang berada di dinding lorong rumah sakit terdengar menakutkan,  seolah-olah bom waktu yang akan meledak. Dan yang mereka cemaskan adalah ledakan itu berupa kabar bahagia atau malah sebaliknya.

Beberapa jam kemudian,  akhirnya lampu di dalam ruang operasi terlihat menyala. Aya,  Bunda,  Laras,  dan Angga langsung berdiri dari kursi tunggunya. Menunggu dokter keluar seakan-akan menunggu bertahun-tahun karena saking tidak sabarnya. Tapi saat dokter sudah keluar dengan mimik yang tidak bisa dijelaskan, semuanya bisa mengerti. Kalau yang akan disampaikan dokter itu kabar yang tidak ingin mereka dengarkan. Semua yang semula berdiri mendadak terduduk lemas lagi. Hanya suara tangisan yang menambah sunyinya malam ini.

***

4 Tahun kemudian,

Di pemakaman,

Untuk ke sekian kalinya Aya mengunjungi makam ini di setiap akhir pekan. Dan untuk ke sekian kalinya juga dia didahului pengunjung yang selalu menaruh bunga mawar putih di atas pusaran orang yang sangat disayanginya. Untung ada Angga yang selalu setia menemaninya. Sempat Aya mengira bunga itu dari Angga, tapi Angga tetap kekeh mengelaknya.

Kegemaran mereka yang sama membuat mereka kembali belajar di kampus yang sama. Mereka mengambil kuliah di bidang olahraga. Aya tak bisa membayangkan bagaimana kalau tidak ada Angga di sisinya, dia pasti tidak sanggup  bertahan saat dia dalam kondisi terpuruknya.

"Makasih banyak ya Ngga." ucap Aya sambil beranjak untuk keluar makam. Angga tidak menjawab,  dia hanya tersenyum dan mengacak puncak kepala Aya. Hal yang sudah biasa Aya dapatkan, dan selalu sukses membuat Aya tenang. "Oh ya, katanya hari ini kamu mau ke bandara. Jam berapa?" lanjut Aya.

"Habis ini," jawab Angga dengan melihat jam tangannya. "Sejaman lagi lah. Kamu mau ikut?" tanya Angga balik.

Aya berpikir sejenak. "Emm,, aku ke tempat biasa aja deh. Ntar aku hubungin kamu lagi kalau aku mau pulang."

"Oke."

Aya langsung menuju ke tempat favoritnya, tempat yang bisa membuatnya tenang, tempat untuk mengenang masa lalunya, meski kenangan pahit juga termasuk di dalamnya.

Sesampai disana, suasananya agak berbeda dari biasanya. Pada jam sepagi ini Aya tidak sendiri, sepertinya sebelumnya  ada orang yang datang dan berdiri di sebelah tempat dia duduk sekarang. Di situ masih ada sisa botol minuman ringan yang tinggal separuh dan sebuah jam tangan. Aya tidak ambil pusing,  mungkin orang itu akan balik lagi untuk mengambil jam tangannya yang ketinggalan. Aya kembali ke niat awalnya untuk menenanangkan diri setiap kali habis dari makam dengan memandangi tenangnya air laut yang tidak pernah membuatnya bosan.

Tiba-tiba ada suara langkah kaki. "Duh, aku taruh dimana tadi?" gumam seseorang yang menuju ke tempat Aya dengan menunduk seperti mencari-cari sesuatu.

Melihat hal itu Aya langsung berdiri dengan membawa jam tangan yang kemungkinan sedang dicari orang itu. "Anda mencari ini??" tanya Aya ketika sudah mendekat.

Orang itu menoleh dan memperhatikan barang yang dibawa Aya. "Oh ya, syukurlah akhirnya ketemu juga. Makasih ba.. " Orang itu tiba-tiba terdiam. Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya setelah melihat Aya. "A...ya?"

Ternyata bukan hanya orang itu saja yang terkejut,  Aya lebih terkejut lagi. Orang yang pernah sangat berarti baginya, orang yang empat tahun ini susah untuk dia lupakan, dan orang yang benar-benar sangat dirindukannya sekarang. "Fa..Fatur?"

Bersambung...

Don't Blame AnyoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang