Dua bulan kemudian...
Hilman
Gue bener-bener kaya abege alay yang ngitung hari buat pulang ke rumah. Komunikasi gue sama Gia belakangan ini agak longgar karena kita sudah sibuk sama kerjaan masing-masing. Jadilah videocall cuma sehari sekali menjelang tidur.
"Ngapa lu, nyet. Senyam-senyum sendiri," Rendi menyenggol bahu gue. "Suka-suka gue dong," balas gue. Dia memainkan alisnya naik-turun sambil tersenyum badung.
"Kebelet indehoy sama bini, ya?" tanyanya, gue menggeplak dia pake helm safety. "Goblog!" Rendi ketawa puas.
"Sensi amat penganten baru," cibirnya, gue mengacungkan jari tengah menanggapinya.
****
Hari-hari kritis menjelang pulang kerumah dimulai. Sehari sebelum balik, pihak perushaan ngasih dispensasi buat keluar pabrik. Tujuannya mungkin buat menghirup udara segar atau beliin oleh-oleh buat orang rumah, sayangnya, di hari dispensasi itu gue memutuskan buat pulang lebih awal. Gue ngga bilang apa-apa sama Gia. Dia taunya gue balik besok pagi, jadi ini surprise buat bini gue. Hehehe.
Jam lima sore gue sudah mendarat ganteng di Soetta. Di terminal kedatangan gue disambut wajah masam adik gue. Fariz. Emang, dia durhaka banget jadi adik.
"Lo yang nyetir bang," dia ngasih perintah sama gue. Gue melotot, "Elo, lah! Gue jetlag, capek!" ujar gue sambil berlari ke kursi penumpang. Biar si Fariz ngga rese. Adik gue cuma merengut.
"Tai lo, Kalimantan-Jakarta cuma sejam aja pake jetlag! Najis!" cibirnya. Gue ngga menanggapinya. Lebih memilih tiduran saja.
Begitu adzan maghrib, gue sampe rumah. Sebelumnya gue nanya sama mama Reni, Gia udah balik ato belom, ternyata belom. Bini gue balik jam setengah delapan.
Gue memilih langsung ke rumah Gia, tas gue titipin ke Fariz. Di rumah Gia gue basa-basi sebentar sama mertua, terus masuk ke kamar Gia. Mandi, kemudian tiduran sambil mainan hape. Aktivitas pengangguran banget.
Gue buka beberapa situs anime sama manga buat ngilangin bosen, sampe beberapa jam kemudian pintu kamar Gia terbuka. Menampilkan sosok istri gue yang sangat gue kangenin.
"Hai!" ujar gue sambil tersenyum. Gia merengut, menaruh tasnya di meja rias, kemudian membuka blazernya dan loncat ke kasur. Senyum gue makin lebar. Gue tarik dia supaya bisa tiduran di dada gue.
"Apa kabar?" tanya gue, Gia masih diam. Gue mengangkat wajahnya, mendapati matanya berkaca-kaca, "Kenapa?"
"Kangen tau! Kenapa ngga bilang mau balik hari ini? Gue kan bisa perawatan dulu!" dumelnya. Gue terkekeh, "Ngga usah perawatan, Yang. Kamu udah cantik kok," ujar gue sambil menyingkirkan beberapa anak rambut yang nakal nutupin wajah istri cantik gue.
"Gombal banget sih," cibirnya. Gue ketawa, "Gue jujur di bilang gombal," Gia malah manyun. Kesempatan banget buat nyipok. Tanpa babibu gue menangkup wajahnya dan melahap bibir manisnya. Sumpah! Kaya cipokan sama marshmallow! Enak, lembut, kenyel-kenyel manis gimana gitu. Beberapa menit berikutnya kita habiskan buat saling mengeksplorasi sampai nafas Gia mulai berat. Gue melepaskan ciuman perlahan "Boleh ya?" tanya gue. Gia diam, kemudian perlahan dia mengangguk. Gue langsung gerak cepat buat mencium semua bagian tubuhnya yang tiap malem bikin gue mimpi basah.
"Euungghh..." lenguhan pertama Gia yang sangat merdu di telinga gue. Gue terus menciumi bagian sensitifnya sampe beberapa menit kemudian kita sudah naked. Gue menatap Gia. Sekali lagi meminta izin yang kemudian dia bales pake tatapan sayu.
"I Love You," bisik gue tepat di depan bibirnya sebelum bibir gue melahap bibirnya dan kita bersatu. Oh, God! Gue bisa mati keenakan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Hidup
Romance[KONSPIRASI ALAM SEMESTA = TEMAN HIDUP] Pernah ngga sih, kepikiran bakal nikah sama tetangga sebelah rumah? Kepikiran bakal nikah sama teman dari kecil, teman dari zaman TK sampai lulus SMA. Hilman Baskara Putra ngga nyangka bakal nekat menikahi Ang...