Gia
"Ya, makan dulu yah. Ini dokternya ngasih bubur sumsum khusus lho buat kamu. Aku suapin, yah?"
Gue masih bergeming di tempat. Ngga berniat menoleh sedikitpun. Hilman sendiri getol banget ngebujuk gue supaya makan. Gue ngga nafsu makan. Ngga pengen memasukkan apapun kedalam perut gue.
Hilman ngga pernah ngejawab setiap gue gencar pertanyaan tentang bakal anak kami. Puncaknya adalah tiga jam setelah gue sadar seminggu lalu. Gue histeris, nangis bahkan berteriak kaya orang kesurupan. Gue masih nyesek sampai saat ini begitu tahu kalo gue gagal jadi calon ibu sebelum menimang anak gue. Patah hati. Banget.
Kalo banyak anak muda nangis karena putus sama pacarnya, gagal nikah, ditinggal mantan nikah atau lainnya, gue akan meludah di depan mereka. Air mata kalian sia-sia. Percuma banget. Kalian ngga tahu bagaimana patah hatinya seorang ibu yang kehilangan calon anaknya. Lebih sakit dan lebih nyesek. Rasanya kaya mending ikutan nyusul mati aja daripada masih hidup tapi dipisahin secara paksa sama calon anaknya.
"Ya, nanti siang Rendi sama Bayu mau kesini, lho. Rendi juga udah nikah sama Tara," cerocos Hilman. Gue ngga menanggapinya. Malas. Gue bahkan merasa ngga pantas lagi jadi seorang istri. Apalagi calon ibu.
"Sayang...."
Hilman meraih bahu gue, mau ngga mau gue dan dia berhadapan. Wajahnya kelihatan memelas, kantung matanya sudah menghitam kaya panda, ditambah bakal bulu-bulu kecil di wajahnya membuat gue sejenak terpaku. Dia kenapa?
"Aku mohon, Ya... jangan kaya gini, please...." pintanya sarat akan nada permohonan. Jemari gue bergerak mengelus kantung matanya, berlanjut ke pipinya yang terasa kasar karena bakal janggutnya.
Air mata gue meluruh lagi. Turun pelan-pelan, kemudian berubah jadi isakan. Hilman menghapusnya. Dia menggelengkan kepalanya, "Jangan kaya gini, Ya... please, kita semua sama. Sama-sama jatuh...."
Gue makin histeris, Hilman meraih gue kedalam pelukan. Kali ini gue membiarkan dia melakukan apapun sesuka hatinya. Sampai tangisan gue berhenti, Hilman masih memeluk gue.
"Aku tau aku bukan lelaki baik, Ya. Aku brengsek. Iya atau ngga, aku sadar kalau aku ikut andil dalam semuanya. Aku salah. Ditambah sama kamu yang menutup diri kaya begini, aku makin ngga bisa apa-apa. Aku butuh kamu, Ya. Kita harus saling menguatkan...."
Gue menggumamkan kata maaf yang dibalas dengan elusan di kepala gue. "Kamu tau, Ya? aku juga sama-sama kehilangan... aku butuh kamu buat bangkit lagi...."
"Udahan ya nangisnya, sekarang makan. Ini bubur sumsum lho... kamu suka, kan?" gue mengangguk samar. Sekilas gue menangkap sebuah senyuman di wajah Hilman.
"Makasih ya, Man." Hilman tersenyum lebar dan mulai menyuapi gue.
******
Dokter Susi memeriksa keadaan gue, raut wajahnya kelihatan sangat bersimpati. Kali ini Hilman yang menemani gue menemuinya. Rasanya miris banget, saat pasangan lain datang ke dokter kandungan buat ngedenger kabar bahagia, gue sama Hilman ke dokter kandungan buat periksa kondisi rahim gue dan di kasih beberapa wejangan dari dokter Susi.
"Ibunya masih muda, prosesnya ngga akan lama. Semoga bisa kembali di kasih momongan, ya...." gue tersenyum kaku. Hilman lebih banyak bertanya mengenai apa saja pantangan untuk gue, jarak aman kalau mau punya anak lagi, dan banyak lagi. Gue cukup menjadi pendengar di sampingnya.
"Ibu yang semangat, ya. Biar cepet isi lagi," gue kembali tersenyum. Setelah selesai kami berdua mengucap terimakasih dan pergi.
Gue ngga banyak ngomong, Hilman sendiri ngga ngajak gue ngobrol. Jadi kami saling diem-dieman sepanjang perjalanan. Gue mengerutkan dahi saat sadar kalau Hilman ngga menuju ke rumah. Gue menoleh,
![](https://img.wattpad.com/cover/76425778-288-k973820.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Hidup
Romance[KONSPIRASI ALAM SEMESTA = TEMAN HIDUP] Pernah ngga sih, kepikiran bakal nikah sama tetangga sebelah rumah? Kepikiran bakal nikah sama teman dari kecil, teman dari zaman TK sampai lulus SMA. Hilman Baskara Putra ngga nyangka bakal nekat menikahi Ang...