Hilman
Mama kembali menelepon gue ke kantor. Kali ini suaranya kedengeran panik, di campur tangisan sesenggukan khas mama. Gue ngga bisa menangkap dengan jelas suaranya sampai suara Fariz kemudian terdengar,
"Bang, pulang sekarang!"
"Gue lagi ada training, Riz. Ngga bisa pulang," Fariz menggeram di ujung telepon sana, "Pulang atau lo bakal nyesel dan kehilangan semuanya!"
Telepon kemudian di tutup sepihak oleh Fariz. Gue belum sempat bertanya lagi. Gue memutuskan buat kembali bekerja dengan pikiran yang berkeliaran kemana-mana sampai jam istirahat tiba, gue meminjam ponsel Rendi dan menghubungi Haidar. Begitu telepon diangkat, gue buru-buru nanyain,
"Dar, ini abang. Gia kenapa?"
"Kemaren abis acara empat bulanan dia diem aja, bengong. Selesai acara tidur, di temenin papa sampe dia tidur. Pas Isya di bangunin ngga nyaut, kasurnya udah basah. Banyak darahnya..." Haidar memelankan suaranya di ujung kalimat. Gue membatu,
Darah?
"Terus, gimana?"
"Sori, gue ngga bisa cerita banyak kali ini, bang. Mending lo pulang langsung, biar ngga nyesel, bang..."
Gue mengiyakan kemudian menutup telepon. Bergegas gue menemui Mbak Fina dan ngurus cuti sama dia. Persetan sama training dan mutasi. Kali ini urusannya tentang anak istri gue. Gue bersumpah kalau sampe ada apa-apa sama Gia atau junior, gue ngga akan memaafkan diri sendiri.
******
Usai mengurus cuti, gue segera beberes dan ikut mobil kantor yang kebetulan mau pergi ke pusat kota. Gue bersyukur dalam hati. Seenggaknya gue ngga kebingungan sekarang.
Sampai di bandara, gue beli tiket mendadak yang untungnya ada. Penerbangan sore sekitar jam 15.45. selama menunggu di lounge gue ngga berhenti berdoa dan memohon semoga anak istri gue baik-baik aja, semoga gue masih dikasih kesempatan buat gendong anak gue, kesempatan buat minta maaf ke istri gue.
Ya Allah...
Gue terus menunduk dan berdoa sampai pengumuman penerbangan terdengar, gue bergegas check in. Gue pengen cepet-cepet sampai ke Jakarta.
******
Gia
Gue mengerjap sejenak. Membiasakan cahaya masuk ke pupil mata gue. bocah lelaki yang sebelumnya manggil gue mama tersenyum lebar di hadapan gue. Dia punya dua lesung pipi kecil di ujung bibirnya. Kalo lagi tersenyum lebar manis banget.
"Mama udah bangun?" tanyanya, gue mengangguk. "Kamu siapa sih? Kok dari tadi manggil aku mama?" bocah itu masih tersenyum.
"Aku Arsy,""Arsy?" tanya gue heran. Dia mengangguk, "Ma... aku bakal selalu ada buat mama. Sampai mama kuat, sampai semua membaik. Aku bakal ada buat kalian. Buat mama, buat papa."
Gue menaikkan sebelah alis,
"Kamu tau siapa papa kamu?"
"Hilman Baskara Putra."
Gue melongo, "Kamu... junior?"
Dia ngga menjawab. Memilih tersenyum saja. Bocah ini ngga bosan tersenyum. Lagipula dia memang good looking, jadi bebas mau ngapain aja tetep ganteng.
"Ma, kalau mama mau aku tetep sama mama. Tolong gendong aku, ma...." pintanya sambil mengulurkan tangan kehadapan gue. Sejanak gue memandangnya. Dia ngga gemuk. Badannya ukuran normal anak kisaran usia 3-4 tahun. Gue meraihnya, mencoba membawanya kedalam gendongan gue. Berat. Sangat berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Hidup
Romance[KONSPIRASI ALAM SEMESTA = TEMAN HIDUP] Pernah ngga sih, kepikiran bakal nikah sama tetangga sebelah rumah? Kepikiran bakal nikah sama teman dari kecil, teman dari zaman TK sampai lulus SMA. Hilman Baskara Putra ngga nyangka bakal nekat menikahi Ang...