9. Bomb!

12.3K 924 13
                                    

Hilman

Gue sama Gia sudah selesai melihat-lihat rumah Pak Santoso ditemani Pak RT, Papa, dan Mas Danang—anaknya Pak Santoso—

Rumahnya bener-bener jawa banget. Kaya rumah Oma di Semarang. Halamannya luas. Cocok buat anak kecil main. Intinya, secara keseluruhan rumah ini sudah cocok buat orang yang mau bangun keluarga.

Gue yang sebelumnya pengen ngedesain dan bikin rumah sendiri jadi mikir ulang karena keburu sreg sama rumah ini.

"Man, baju kamu udah di packing belum?" tanya Gia sambil merapikan isi lemarinya. Gue menggeleng, "Kamu gih yang beresin... nanti siang ke rumahku,"

"Besok flight nya jam berapa?"

"Sore, jam tiga." Gia menghampiri gue yang lagi duduk di kasur menghadap ke jendela, duduk di pangkuan gue begitu saja. Kemudian bergelung.

"Eh, tumben banget kaya anak kucing," canda gue. Gia makin menelusup ke dada gue. "Kangen ih, nanti kalo kamu berangkat terus pengen pangku-pangku sama peluk-peluk ke siapa..." rajuknya. Gue terkekeh.

"Ke aku, kalo pulang tapi... Ngga boleh sama orang lain, awas ya," Gia mencibir. "Lah, dasar!"

Gue mencubit pipinya gemas. "Turun, dong. Berat nih,"

"Ih! Kok ngomongnya gitu, sih?" gue melongo. "Ya emang berat kalo lama-lama mah, sayang..."

"Bilang aja gue gendut!" tandasnya. Gue melongo lagi. Crap! Cewek dan berat badan bakal jadi masalah sensitif sepanjang masa.

"Ga boleh ngomong gue-gue ah! Kamu ngga gendut. Kamu langsing, ideal, cantik..." ujar gue sambil menjawil pipinya.

"Gombal ah, sebel..." gue cium pipinya sekilas, "Gombal juga tetep bikin blushing, kan?" tanya gue jahil. Gia merengut.

****

Gia

Hilman sudah balik lagi ke Kalimantan. Begitupun gue yang kembali bekerja setelah seminggu full di rumah. Begitu sampai di kantor, semua orang nanyain kondisi gue. Sampe Pak Jajang—office boy di kantor—tiba-tiba nyamperin ke kubikel gue dan nanyain keadaan gue.

"Udah sehat, Pak. Alhamdulillah," ujar gue sambil tersenyum. Pak Jajang ikut mengucap syukur, "Neng Gia kan jarang sakit. Sekalinya sakit meuni nyampe seminggu gitu..."

"Lagi teledor aja kemaren pas sakit, Pak. Ga jaga kondisi badan," Pak Jajang mangut-mangut,

"Oh, gitu... sekarang harus hati-hati ya, Neng." Pesannya. Gue mengangguk, "Oh iya, saya permisi dulu, ya neng. Mau ke ruangan Pak Ardi. Mari,"

"Mari, Pak..."

****

Ternyata seminggu di tinggal cuti sakit, kerjaan gue di kantor makin menggila. Ada beberapa email masuk minta konfirmasi tentang proyek iklan dan sebagainya. Gue membalasnya satu-persatu dan meminta maaf sebelumnya karena gue telat ngasih kabar. Gabby yang kubikelnya persis di samping gue melongokkan kepalanya,

"Mbak..." panggilnya, gue berdeham, "Ih, apa gitu... jangan hm-hm aja..." kesalnya. Gue akhirnya menghela napas dan menolehkan kepala kearahnya. "Ada apa Gabriel?"

Gabby nyengir, "Lu seminggu sakit apaan?" tanyanya, "Gejala thypus," jawab gue singkat kemudian kembali mengalihkan pandangan ke layar komputer.

"Lu beneran sakit, apa mau nyuri waktu honeymoon sama suami?" gue menaikkan alis tak mengerti,

"Maksudnya?"

"Kemaren-kemaren gue liat lo di Gancit," bisiknya. Oh, si Gabby ini emang uler. "Oh, itu kemaren udahan bedrestnya. Jadi nonton. Lagian salah kalo gue jalan sama suami?" tanya gue sinis. Gabby menggeleng,

Teman HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang