Hilman
Sepulang dari Kiaralawang, gue terus mencoba membangun percakapan dengan Gia. Dia sendiri malah selalu menghindar. Entah bantuin Mimi, ikut masak, pergi ke kebun sayur, atau dia akan main sama cucu Ua Jarot—saudara Mimi—yang berusia dua tahun. Bocah lelaki itu sedang lucu-lucunya. Dia sedang belajar bicara meski ucapannya masih terpatah-patah dan ngga jelas.
"Ini tante Gia," gue tersenyum saat Gia mengajari Danu berbicara. Bocah itu mengamati Gia dengan bola matanya yang bulat dan besar.
"Ate Giya?"
Gia mengangguk. "Dedek Danu udah makan belum?"
"Beyum,"
"Mau makan sama tante Gia, ngga?" Danu yang sebelumnya sibuk memperhatikan mainan di tangannya menoleh, dia kelihatan antusias dengan ajakan Gia. "Mau mamam sama ate Giya,"
Gue menghampiri mereka. Mengelus rambut lebat milik Danu. "Lagi main apa?" tanya gue, Danu mendongak menatap Gia.
"Main apa ate?"
"Main robocar. Tapi sekarang waktunya makan dulu!" seru Gia kemudian beranjak ke dapur meninggalkan gue dengan Danu yang kembali sibuk dengan mainannya.
"Dedek... dedek tau ngga om siapa?"
"Sapa?"
"Ini om Hilman,"
"Om Iyman?" gue mengangguk. Mengelus kepalanya lagi. "Dedek Danu pinter,"
"Anu pintey" Gia kembali menghampiri kami dengan sepiring puding yang sudah di potong-potong. "Dedek mau puding?"
"Mau" ujar Danu sambil mengangguk. Gia kelihatan tersenyum. Manis banget. Dia kemudian menyuapi Danu dengan telaten sampai bocah itu menolak karena kenyang.
Gue mendekat, berbisik pelan ke Gia. "Ya, aku janji bakal kasih satu yang lucu begini buat kamu. Kamu jangan ngejauh lagi dong...."
Gia menoleh, "Apa sih," ketusnya. Tapi gue menangkap semburat merah tipis di pipinya. Ya Allah... istri gue gemesin banget...
*****
Gue merasa ada yang ngga beres sama tubuh gue. Mual, pusing dan lemas. Padahal rencananya sore nanti kita bakal pergi ke Magelang buat ngeliat kebun jati milik papa.
Selesai makan siang, Gia katanya pengen ikut Mimi ke kebun kopi buat ngecek, kira-kira kapan kopinya siap di panen. "Hilman, ku naon? Kok pucet banget, kasep?"
Gue menggelengkan kepala, "Ngga kenapa-napa, Mi. Kecapean paling."
"Ih, kade ah. Istirahat ya," gue mengiyakan. "Neng Gia kalo mau temenin Hilman ngga papa. Mimi ke kebun nya sendiri aja."
Gia menggigit bibirnya, dari raut wajahnya keliatan kalau dia lagi kebingungan. "Beneran ngga papa kalau aku disini aja, Mi?"
"Iya, udah. Kamu temenin Hilman aja ya. Mimi berangkat sekarang. Takut hujan."
"Uhm... Iya, hati-hati, Mi...."
Mimi tersenyum kearah kami. "Mimi berangkat, ya. Pintunya kunciin aja. Mimi juga mau ngunci pintu gerbangnya. Takut kenapa-napa soalnya,"
Gue mengangguk, "Ke kebun kopi deket rumah Mang Dedi, kan?" Mimi mengangguk. "Iya,"
"Yaudah, mimi berangkat, ya. Assalamualaikum." Pamit mimi. Gue dan Gia serempak menjawab salamnya
*****
Gia
Sebenarnya sejak pulang dari Puncak Kiaralawang, gue sudah melihat wajah Hilman yang pucat. Tapi gue ngga banyak omong. Karena mau nanya aja sungkan. Makanya gue setengah hari ini lebih banyak berinteraksi sama orang lain ketimbang dia. kalaupun ada waktu berdua, gue memakai waktu itu untuk menghindarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Hidup
Romance[KONSPIRASI ALAM SEMESTA = TEMAN HIDUP] Pernah ngga sih, kepikiran bakal nikah sama tetangga sebelah rumah? Kepikiran bakal nikah sama teman dari kecil, teman dari zaman TK sampai lulus SMA. Hilman Baskara Putra ngga nyangka bakal nekat menikahi Ang...