10. Bencana atau Bahagia?

10.8K 938 25
                                    

Gia

Semenjak telepon bencana dari Hilman malam itu, gue langsung mengurung diri dan nangis. Haidar yang sebelumnya nanya berubah jadi diam pas gue bentak. Gue ngga tau sampai jam berapa gue nangis. Yang jelas pagi ini gue merasa pusing. Perut gue juga mual. Ini mungkin efek maag gue yang semakin parah karena pola makan gue mulai berantakan.

Gue bergelung di kasur sambil merapatkan selimut. Berharap bisa menghangatkan badan gue, sayangnya ngga terlalu ngefek. Gue bener-bener lemes.

"Maaam!!!" gue berteriak dengan sisa tenaga yang gue punya. Gak lama papa muncul. Padahal gue manggilnya mama. Tapi ga papa lah,

"Kenapa, neng?" tanya Papa dengan khawatir. Gue malah menangis, "Gia sakit, Pa..." rengek gue. papa meletakkan punggung tangannya di dahi gue. setelahnya langsung membuka selimut yang gue pakai dan membantu gue duduk-setengah duduk, karena kepala gue pusing dan gue lemas banget. Sebagian tubuh gue di topang sama Papa-

"Astagfirullah!"

"Papa, Gia lemes banget..."

"Mama, Haidar!!!"

Gue sudah ngga peduli dengan grasak-grusuk mereka diambah jeritan histeris mama, yang gue ingat cuma Haidar dan Papa yang berusaha membawa gue sebelum semuanya menggelap.

*****

Hilman

Gue merelakan jatah cuti gue buat Rendi. Itu berarti selama sembilan bulan dari sekarang gue ngga akan pulang ke Jakarta. Sebelumnya gue sudah nelpon Gia. Dia kedengeran nangis, kemudian memutuskan telepon gitu aja. Sampai saat ini gue bahkan ngga bisa ngehubungin dia karena telepon gue di reject, semua pesan gue cuma di read doang sama dia. Itu bikin kerjaan gue berantakan selama beberapa hari ini. Beruntung gue ngga di kasih SP sama pihak perusahaan.

"Man!" suara Bayu mengagetkan gue. gue menoleh dan mendapati dia mendekat. Bayu kelihatan berantakan.

"Kenapa?" tanya gue malas. "Man, gue takut..."

Gue menghela napas. Tumben banget ini anak bilang takut. "Takut apa?"

Bayu akhirnya mulai bercerita kalo beberapa malam lalu dia ketemuan sama cewek amoy disini dan berakhir diatas ranjang dengan dia yang lupa pakai kondom. Gue menoyor kepalanya,

"Lo kok bego, sih? Lo nidurin berapa cewek sampe hal kaya gitu lupa?" tanya gue kesal. Bayu menjambak rambutnya. "Please, Man... gue ngga mau nikah, kalo si cewek itu hamil gimana?" tanya Bayu panik. Gue mengedikkan bahu. Kenapa semua temen gue kena masalah berat begini, sih?!

"Terus kalo si cewek itu beneran hamil, terus ngga lo nikahin, lo mau lari gitu aja?" tanya gue sinis, Bayu diam.

"Udahlah, Bay... mending lo salat aja. Berdoa, kali aja ada petunjuk," Bayu duduk terpekur ngga bergerak. Gue meninggalkannya di mess, sementara gue berjalan sendirian menuju musala. Menatap sendal jepit dekil gue, sambil sesekali menendang kerikil di sepanjang jalan. Gue ngga ngerti kenapa sekarang jarak mess ke musala jauh banget. Sampai suara iqamat terdengar, gue bahkan belum sampai ke musala. Akhirnya setengah berlari, gue sampai juga disana.

Gue langsung mengambil barisan dan mengikuti gerakan salat.

*****

Biasanya selesai salat magrib gue bakal cepet-cepet pulang ke mess dan nelpon Gia. Tapi hari ini, entah kenapa gue ngga minat balik ke mess. Musala lebih adem dari mess gue.

Pak Hamdi-imam di musala-mengisi waktu senggang antara magrib dan isya dengan tausiah. Gue sendiri ngga terlalu merhatiin, zalim banget gue. sekilas yang gue dengar cuma amalan baik, balasan dari amalan baik, akhlak mulia, akhlak tercela sama ganjarannya.

Teman HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang