11. Periode 1

10.6K 894 30
                                        

Gia

Morning sickness bener-bener menyiksa. Pagi ini begitu buka mata, gue langsung lari ke kamar mandi. Ngeluarin semua isi perut gue. Ngga lama setelah itu ponsel gue berbunyi, video call dari Hilman. Gue ngga niat buat ngangkatnya sekarang. Setelah bener-bener selesai, gue kumur-kumur terus wudhu dan salat subuh.

Beruntung ini hari Sabtu. Gue jadi ngga perlu buru-buru mandi dan siap-siap kerja. Yup, gue masih kerja. Alasannya simpel. Gue ngga mau nganggur. Banyak kerjaan aja bikin gue ngga berenti mikirin dia. Apalagi nganggur. Yang ada gue jadi stress.

Selesai salat subuh, gue memutuskan buat kembali bergelung di kasur. Hari ini mendung, padahal nanti siang gue sama Papa mau check up kandungan. Semoga ngga hujan.

"Neng... Gia..." Mama manggil gue dari balik pintu. "Masuk aja Mam, ngga di kunci." Sahut gue. ngga lama kemudian mama muncul dari balik pintu sambil membawa nampan berisi buah, sereal dan susu.

"Sarapan dulu ya, sayang. Biar ngga lemes," gue menggeleng lemah. "Nanti aja, Mam. Masih enek. Daripada keluar lagi,"

Mama menaruh nampannya di nakas. Kemudian duduk di samping gue. "Paksain, dikit aja. Biar isi perutnya. Kalo kosong banget nanti malah masuk angin,"

Gue melirik sekilas buah yang ada di nampan. Pir hijau. "Gia mau makan buah pir nya, Mam." Mama tersenyum, kemudian mengupasnya setelah itu menyodorkannya ke gue.

"Calon cucu eyang ngga boleh nakal, biarin mamanya makan ya, sayang... eyang sayang kamu," ujar mama sambil mengelus perut gue yang sudah mulai menonjol. Gue terharu. Mata gue sudah berkaca-kaca.

"Mama ih..." rajuk gue. Mama terkekeh. Tepat setelah itu ponsel gue kembali bergetar, "Tolong ambilin dong, Mam..." pinta gue.

"Hilman, nih..." gue mengambil ponsel yang diserahkan mama. Menimbang mengangkat teleponnya atau tidak. Mama seakan mengerti, beliau mengelus bahu gue. "Angkat sebentar. Dia juga berhak tau perkembangan baby," ujar mama lembut, "Mama keluar dulu, ya..." gue mengangguk.

Dengan ragu gue menggeser layar ponsel, setelahnya muncul wajah Hilman. Gue sendiri ngga ngaktifin kamera. Jadi cuma dia yang kameranya online.

"Sayang, kameranya kok mati?" gue ngga ngejawab. Membiarkan dia. Gue mendapati guratan kekecewaan di wajahnya yang buru-buru dia tutupi dengan senyuman.

"Kamu apa kabar? Baik-baik aja, kan?"

"Junior gimana? Baik juga, kan? Ngga nakal, kan?"

"Kata mama kamu kena morning sickness parah, iya?"

"Coba banyakin makan buah, kali aja ngefek. Rajin-rajin minum obat sama vitamin dari dokter, ya... jangan lupa minum susu juga," ujarnya dengan senyuman. Gue tanpa sadar mengangguk. Air mata gue sudah menurun. Gue membekap mulut gue menahan isakan.

"Kamu jaga kesehatan ya, sayang. I miss you, Aku sayang kamu... sayaaang banget," gue segera memutuskan panggilan dan akhirnya menangis.

Aku juga sayang kamu... sayaaang banget sama kamu...

*****

Hilman

Dua bulan berlalu semenjak berita kehamilan Gia. Artinya kandungan Gia sekarang sudah jalan tiga bulan. Mama sudah nyuruh-maksa-gue buat pulang bulan depan. Gimana caranya yang jelas mama sudah ngancam gue supaya pulang pas empat bulanan.

"Kamu keterlaluan kalo sampe ngga pulang, Hilman! Ini acara empat bulanan anak pertama kamu! Bukan anak tetangga!" bentak mama begitu gue bilang 'Insyaallah'.

Teman HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang